Greenpeace Tuding 3 Menteri Presiden Prabowo Jadi Biang Kerok Banjir Bandang Sumatera, Siapa Saja?
Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memunculkan sorotan tajam terhadap tata kelola lingkungan dan pemberian izin pemanfaatan hutan di Indonesia.
Di tengah duka akibat ratusan korban jiwa dan kerusakan masif, kritik terhadap pemerintah pusat mencuat seiring viralnya rekaman ribuan kayu gelondongan yang hanyut bersama arus banjir.
Aktivis Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menilai rangkaian musibah tersebut tidak dapat semata-mata dilekatkan pada cuaca ekstrem. Ia menekankan bahwa ada faktor kebijakan yang menurutnya jauh lebih spesifik.
Dalam sebuah wawancara di podcast Abraham Samad SPEAK UP yang tayang Selasa, 2 Desember 2025, Iqbal secara gamblang menunjuk tiga menteri sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
“Pertama, Raja Juli karena dia yang memberikan izin melakukan pengawasan. Pengawasan ya, enggak cuma memberikan izin, pengawasan di bidang kehutanan. Lalu kemudian ada Pak Bahlil, Menteri SDM, karena dia berhak memberikan izin di dalam kawasan hutan maupun izin pertambangan di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan,” ujar Iqbal.
Ia juga menyoroti peran Kementerian Lingkungan Hidup. "Termasuk Menteri Hanif Faisol, Kementerian Lingkungan Hidup. Karena apa? Karena dia adalah orang yang menerbitkan AMDAL untuk menganalisis apakah izin ini layak untuk diterbitkan atau tidak," tambahnya.
Menurut Iqbal, pemerintah tidak bisa terus menjadikan anomali cuaca ekologis sebagai penyebab tunggal bencana. Ia menekankan bahwa perubahan ekstrem iklim tidak terlepas dari kebijakan negara yang gagal mengendalikan kerusakan lingkungan.
“Harus kita ketahui bahwa cuaca ekstrem ini terjadi akibat kebijakan pemerintah yang gagal. Kemudian yang kedua, karena kondisi ekologisnya memang sudah hancur,” katanya.
Iqbal menyebut bencana besar yang terjadi belakangan ini bukan peristiwa mendadak, melainkan sesuatu yang “sudah terprediksi” akibat kebijakan perizinan yang tidak menjelaskan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
"Jadi bencana yang terjadi di Indonesia ini atau di beberapa tempat ini adalah bencana yang sudah terprediksi sebenarnya. Itu satu. Satu hal lagi adalah kebijakan pemberian izin yang tidak mempertimbangkan situasi lingkungan hidup, situasi kehutanan, daya dukung dan daya tampung lingkungan, begitulah ya," jelasnya.
Ia kemudian mengingatkan bahwa pada bulan Juli 2025, Mahkamah Internasional PBB (ICJ) telah menegaskan bahwa negara dapat dianggap melanggar hukum internasional jika tidak mengambil langkah serius dalam menghadapi krisis iklim. Negara yang terkena dampak perubahan iklim juga memiliki hak untuk menuntut reparasi.
Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memunculkan sorotan tajam terhadap tata kelola lingkungan dan pemberian izin pemanfaatan hutan di Indonesia.
Di tengah duka akibat ratusan korban jiwa dan kerusakan masif, kritik terhadap pemerintah pusat mencuat seiring viralnya rekaman ribuan kayu gelondongan yang hanyut bersama arus banjir.
Aktivis Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menilai rangkaian musibah tersebut tidak dapat semata-mata dilekatkan pada cuaca ekstrem. Ia menekankan bahwa ada faktor kebijakan yang menurutnya jauh lebih spesifik.
Dalam sebuah wawancara di podcast Abraham Samad SPEAK UP yang tayang Selasa, 2 Desember 2025, Iqbal secara gamblang menunjuk tiga menteri sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
“Pertama, Raja Juli karena dia yang memberikan izin melakukan pengawasan. Pengawasan ya, enggak cuma memberikan izin, pengawasan di bidang kehutanan. Lalu kemudian ada Pak Bahlil, Menteri SDM, karena dia berhak memberikan izin di dalam kawasan hutan maupun izin pertambangan di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan,” ujar Iqbal.
Ia juga menyoroti peran Kementerian Lingkungan Hidup. "Termasuk Menteri Hanif Faisol, Kementerian Lingkungan Hidup. Karena apa? Karena dia adalah orang yang menerbitkan AMDAL untuk menganalisis apakah izin ini layak untuk diterbitkan atau tidak," tambahnya.
Menurut Iqbal, pemerintah tidak bisa terus menjadikan anomali cuaca ekologis sebagai penyebab tunggal bencana. Ia menekankan bahwa perubahan ekstrem iklim tidak terlepas dari kebijakan negara yang gagal mengendalikan kerusakan lingkungan.
“Harus kita ketahui bahwa cuaca ekstrem ini terjadi akibat kebijakan pemerintah yang gagal. Kemudian yang kedua, karena kondisi ekologisnya memang sudah hancur,” katanya.
Iqbal menyebut bencana besar yang terjadi belakangan ini bukan peristiwa mendadak, melainkan sesuatu yang “sudah terprediksi” akibat kebijakan perizinan yang tidak menjelaskan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
"Jadi bencana yang terjadi di Indonesia ini atau di beberapa tempat ini adalah bencana yang sudah terprediksi sebenarnya. Itu satu. Satu hal lagi adalah kebijakan pemberian izin yang tidak mempertimbangkan situasi lingkungan hidup, situasi kehutanan, daya dukung dan daya tampung lingkungan, begitulah ya," jelasnya.
Ia kemudian mengingatkan bahwa pada bulan Juli 2025, Mahkamah Internasional PBB (ICJ) telah menegaskan bahwa negara dapat dianggap melanggar hukum internasional jika tidak mengambil langkah serius dalam menghadapi krisis iklim. Negara yang terkena dampak perubahan iklim juga memiliki hak untuk menuntut reparasi.
Sumber: korankota
Foto: Aktivis Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik/Net
Greenpeace Tuding 3 Menteri Presiden Prabowo Jadi Biang Kerok Banjir Bandang Sumatera, Siapa Saja?
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:

Tidak ada komentar