Breaking News

Jokowi Cawe-cawe Pansel KPK, Upaya Berulang Melemahkan Lembaga Antikorupsi


Presiden Joko Widodo telah menandatangani susunan panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan calon anggota Dewan Pengawas. Namun komposisi pansel capim KPK yang didominasi unsur pemerintah dikritisi. 

Setidaknya dari sembilan nama, hanya empat anggota yang berasal dari unsur masyarakat sipil dan akademisi. Dominasi unsur pemerintah dikhawatirkan sebagai pintu masuk bagi  Jokowi untuk 'cawe-cawe' pada proses seleksi pimpinan dan anggota Dewas KPK. 

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman meragukan komposisi pansel dapat melahirkan pimpinan yang berintegritas. 

"Kenapa, karena pertama konfigurasi pansel ini didominasi oleh unsur pemerintah. Sehingga yang lebih terlihat adalah kepentingan pemerintah daripada kepentingan masyarakat," kata Zaenur kepada Suara.com, Jumat (31/5/2024). 

Berdasarkan sembilan nama yang diumumkan Menteri Sektretaris Negara Pratikno pada 30 Mei, lima nama berasal unsur pemerintah, kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Yusuf Ateh yang menjadi ketua pansel. Kemudian Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana, Komisaris PT PLN Nawal Nely, Kepala Sekretariat Wakil Presiden Ahmad Erani Yustika, dan Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM Ambeg Paramarta.

Sementara, empat dari kalangan masyarakat sipil dan akademisi, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria selaku wakil ketua pansel, pakar hukum pidana, sekaligus akademisi Universitas Andalas Elwi Danil, Deputy Director Eksekutif Transparency International Indonesia (TII) Rezki Sri Wibowo, dan pakar hukum Universitas Airlangga Taufik Rachman. 

"Nah, saya sih melihat sekali lagi konfigurasi pansel itu mencerminkan keinginan presiden untuk memilih calon pimpinan KPK yang dapat menjamin keamanan pemerintah. Itu dibuktikan karena unsur pemerintahannya lebih banyak," ujar Zaenur. 

Menurutnya, komposisi pansel semestinya didominasi perwakilan masyarakat, mengingat KPK merupakan lembaga independen. Hal itu penting untuk mengantisipasi peluang kepentingan 'titip-menitip'. 

Kritikan yang sama juga dilayangkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Dominasi pansel dari unsur pemerintah dinilai sebagai upaya campur tangan rezim Jokowi menentukan pimpinan KPK dari kalangan tertentu. 

"Kami melihat justru dengan komposisi dominasi pemerintah itu timbul satwa sangka di tengah masyarakat terkait dengan adanya dugaan atau keinginan pemerintah untuk cawe-cawe atau intervensi dalam proses penjaringan komisioner dan Dewas KPK," kata Kurnia. 

Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyayangkan tak ada figur mantan petinggi lembaga antikorupsi dari sembilan nama pansel. Keberadaannya dianggap penting untuk memberikan gambaran sosok pimpinan yang dibutuhkan pada periode selanjutnya. 

"Sehingga upaya pemberantasan korupsi dipimpin oleh orang-orang yang tepat," katanya. 

Kemunduran Pemberantasan Korupsi

Dominasi unsur pemerintah pada pansel capim KPK juga menunjukkan tidak adanya keseriusan Jokowi dalam upaya perbaikan pemberantasan korupsi. Selama hampir satu dekade memimpin, upaya pemberantasan korupsi era Jokowi kian pincang. Zaenur mencatat, selama Jokowi memerintah terdapat sejumlah peristiwa besar yang menghancurkan upaya pemberantasan korupsi.

"Dan itu terbukti berkali-kali bahwa presiden Jokowi ini turut andil dalam kemunduran KPK," ungkapnya.   

Dimulai dengan terpilihnya Firli Bahuri sebagai ketua KPK, padahal saat itu koalisi masyarakat sipil sudah memperingatkan pensiunan polisi ini punya rekam jejak buruk soal integritas. Namun Jokowi tetap melantiknya sebagai pimpinan tertinggi di KPK. Belakangan Firli menjadi tersangka korupsi dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo alias SYL. 

Berikutnya revisi Undang-Undang KPK yang berdampak pada pemecatan 57 pegawai, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Karena dinilai tidak lolos tes wawasan kebangsaan, syarat menjadi ASN KPK. 

Dampaknya indeks persepsi korupsi (IPK) mengalami penurunan dalam beberapa tahun belakangan. Berdasarkan data Transparency International Indonesia (TTI), IPK Indonesia pada 2023 berada di skor 34/100, angkanya masih sama pada 2022. 

Angka itu menempatkan Indonesia pada posisi 115, turun dari posisi 110 dari 180 negara yang diukur. Angka 34 ini juga perolehan yang sama saat pertama kali Jokowi memimpin pada 2014. IPK Indonesia tertinggi pada 2019, di angka 40. 

Mantan penyidik KPK, Praswad Nugraha yang juga korban tes wawasan kebangsaan (TWK) mengamini komposisi pansel tidak menunjukkan keseriusan perbaikan bagi lembaga antikorupsi. 

"Komposisi pansel KPK saat ini menunjukan bahwa Jokowi memang berharap KPK akan terus menurun kinerjanya," kata Praswad.

Dia menilai dari sembilan nama pansel, tidak terdapat sosok yang aktif mengkritisi pimpinan KPK. Ditegaskannya, upaya melahirkan pimpinan KPK yang berintegritas, bukan berasal dari pansel yang pencari kerja. 

"Melainkan harus mempunyai semangat dalam menghadirkan Pimpinan KPK yang mampu mengembalikan kepercayaan publik melalui kerja luar biasa. Melalui komposisi ini tujuan tersebut sulit terjadi," tuturnya. 

Antisipasi Firli Kedua 

Pansel capim KPK diharapkan membuka telinga selebar-lebarnya untuk mendengar aspirasi dari masyarakat. Pansel tidak boleh mengabaikan peringatan dari masyarakat tentang rekam jejak calon pimpinan KPK. Sosok seperti Filri Bahuri tidak boleh kembali ke KPK, dan menjadi pembelajaran bagi pansel. 

"2019 yang lalu terbukti ketika pansel mengabaikan aspek etik khususnya kepada Firli. Kekhawatiran masyarakat akhirnya benar, ketika yang bersangkutan terpilih, tersandung permasalahan etik bahkan tersandung permasalahan hukum di Polda Metro Jaya, maka dari itu kesalahan tahun 2019 tidak boleh diulangi," tegas Kurnia. 

Saat proses seleksi capim KPK pada 2019, kalangan masyarakat sipil telah mengingatkan agar Firli tidak diloloskan. Karena rekam jejaknya yang diduga melakukan pelanggaran etik. 

Dugaan pelanggaran etik itu di antarannya, saat Firli menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Dia diduga menemui mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat M Zainul Majdi atau yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) pada 12-13 Mei 2018. 

Firli tak boleh bertemu dengan TGB, karena KPK saat itu melakukan penyelidikan dugaan korupsi yang melibatkan Pemprov NTB terkait kepemilikan saham PT Newmont. Hal itu sesuai dengan aturan yang berlaku, melarang insan KPK bertemu dengan pihak yang berperkara. 

"Kami berharap agar pansel benar-benar mempertimbangkan rekam jejak calon komisioner maupun Dewan Pengawas KPK. Tentu rekam jejak yang kami maksud tidak terbatas pada rekam jejak hukum, akan tetapi juga rekam jejak etik," tegas Kurnia. 

Sementara Zaenur menekankan pansel harus memiliki keberanian untuk menolak 'titipan'. Calon pimpinan KPK harus bebas dari afiliasi politik dan kepentingan instansi/lembaga tertentu. 

"Berani menolak pesanan dan tekanan dari presiden dan para pembantu orang-orang di sekitarnya, maupun dari kepolisian, dari kejaksaan," tegasnya. 

"Juga jangan buat sistem kuota untuk polisi dan jaksa. Biarkan persaingan bersifat terbuka, fair play jangan buat sistem kota dari pejabat-pejabat atau dari instansi tertentu," Zaenur menambahkan. 

Ketua Pansel Capim KPK Yusuf Ateh menyebut pekerjaaan yang diberikan kepada mereka tergolong berat. Namun dipastikannya mereka akan mendengar masukan dari masyarakat. 

"Insyaallah kami akan banyak sekali berkonsultasi dan menerima masukan publik dengan sebaik-baiknya. Tolong beri waktu saja bagi kami, mudah-mudahan kami bisa melaksanakan amanah ini dengan baik," tuturnya.

Sumber: suara
Foto: Presiden joko Widodo/Net
Jokowi Cawe-cawe Pansel KPK, Upaya Berulang Melemahkan Lembaga Antikorupsi Jokowi Cawe-cawe Pansel KPK, Upaya Berulang Melemahkan Lembaga Antikorupsi Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar