Breaking News

BUKU, POLITIK, PESTA DAN CINTA


Tulisan ini sesungguhnya mengingatkan kita kepada sosok seorang aktivis mahasiswa yang menghabiskan waktunya naik gunung, yakni Soe Hok Gie, penulis muda yang kritis, yang menyukai seni, sastra, dan budaya hingga menulis sebuah puisi sehalus kabut Mandalawangi. Ini membuktikan bahwa Soe Hok Gie adalah sosok yang memahami seni dan budaya, sesuatu yang universal tanpa batasan. Aktivis yang menghabiskan waktunya berpetualang di alam dengan berbagai daya kritis yang dibangunnya. 

Tetapi, sekali lagi tulisan ini tidak sepenuhnya menyadur pikiran-pikiran Soe Hok Gie karena berbeda era, tetapi paling tidak judul di atas akan menjadi ingatan kita tentang story and history apa yang pernah di lakukan oleh Soe Hok Gie. Setidaknya kita kagum dengan sosoknya yang punya nalar kritis di tengah sistem pemerintahan dan politik yang despotis. Ingatan ini tentunya sebagai belantara pengalaman empiris bagi setiap aktivis untuk mendialogkan sekaligus mentransformasikan gagasannya untuk kepentingan peradaban kebangsaan. Daya kritik itu adalah merupakan mibar akademik dan intelektualitas bagi kehidupan kampus. Bagi penulis kampus adalah tempatnya suara Tuhan digelorakan yakni suara kebenaran. 

Nah, berangkat dari judul tersebut di atas, sepertinya ini disematkan kepada sosok-sosok aktivis saat ini yang masih menyandang predikat sebagai mahasiswa. Pertanyaan awal adalah siapa itu mahasiswa, dan apa perannya? Ditengah fenomena pendidikan yang carut marut dengan mahalnya biaya UKT mahasiswa yang menciptakan aksi protes dari kelompok mahasiswa. Liberalisasi disektor pendidikan pada dasarnya sangat membebani orangtua mahasiswa yang tidak semuanya kehiduoan mereka lebih dari cukup. Artinya liberalisasi pendidikan tentu hanya menguntungkan orang-orang kaya atau kaum oligarkis.

Kanada adalah salah satu negara yang berbatasan langsung dengan Amerika Serikat, tetapi seorang anggota parlemen dari Vouncover timur yang bernama Leby Davis memprotes dan menolaknya disidang parlemen, karena ia menganggap 26 % masyarakat Kanada terbebani bahkan angka putus sekolah meningkat karena diberlakukannya “Amerikanisasi pendidikan” yang sangat liberal. Ironisnya, penolakan liberalisasi pendidikan dibeberapa negara ditolak, tetapi nyaris di beberapa negara lain seperti Indonesia mencoba memberlakukannya yang dikenal dengan istilah BHP (Badan Hukum Pendidikan), dimana uang kuliah sangat mahal, orientasi pendidikan menjadi kepentingan bisnis nukan lagi menciptakan manusia yang memiliki skill dan knowledge yang mumpuni. Liberalisasi pendidikan pada akhirnya berorientasi hanya untuk orang-orang kaya dan berduit. Benar kata Budi Prasetyo dalam bukunya “Orang miskin dlarang sekolah dan dilarang sakit”. 

Praktek pendidikan yang sangat liberal ini sesungguhnya sudah menyalahi pembukaan UUD 1945 sebagai kerangka acuan bagaimana tujuan pendidikan itu sesungguhnya. Karena itu sebagai mahasiswa harus mampu memahami dirinya sebagai sosial kontrol, agent of change. Pertanyaan tersebut sesungguhnya cukup menggelitik sekaligus menampar ”muka” bagi mereka yang tidak memahami esensi sebagai mahasiswa, apalagi bagi (mereka) yang masih menganggap dirinya sebagai mahasiswa. Terjemahan secara harfiah mahasiswa adalah mereka yang terdaftar di perguruan tinggi dan sedang mengikuti proses belajar mengajar—jelas berdasarkan Undang-Undang Perguruan Tinggi.

Tetapi, memahami mahasiswa tidak cukup dengan pengertian secara gramatikal. Kenapa? Karena pada diri mahasiswa melekat pembeda dengan masyarakat lainnya. Jawabannya sederhana, mahasiswa adalah masyarakat ilmiah.

Menyandang predikat masyarakat ilmiah bukanlah hal yang mudah, sebab di dalamnya ada kata ”ilmiah”. Dan ini butuh pertanggungjawaban serius bagi mereka yang ”berani” menyandang predikat ini. Sebagai masyarakat ilmiah tentu di harapkan basis-basis pikiran setidaknya beralaskan pada pengetahuan, selain tanggung jawab yang lain sebagai agent of control.
 
Frasa tentang ”mahasiswa” memang tidak mudah sebab peran dan fungsi mahasiswa menjadikan mereka sebagai kelas sosial yang tinggi. Tetapi, sebagian kita bisa melihat bagaimana peran dan fungsi mahasiswa saat ini. Dan sekali lagi, apa itu mahasiswa? Pertama, student activity. Mahasiswa atau kelompok mahasiswa ini lebih memilih jalur akademik—yang sibuk dengan urusan kuliah dan berjibaku dengan tugas-tugas kuliah, dan berpikir bagaimana selesai tepat waktu—dan bisa kerja (work oriented).

Kedua, mahasiswa gentlemen C. Mahasiswa model ini terjebak pada aliran filsafat ”lebih baik, daripada”. Artinya, mereka bangga kalau sudah memperoleh nilai C ketimbang tidak lulus sama sekali. Tetapi, kelompok ini sedikit kritis, ia meyakini hope itu adalah kemerdekaan, walau sedikit cuek dengan kondisi yang ada.

Ketiga, mahasiswa 5K (kampus, kamar, kos, kampung, kawin). Mahasiswa model ini sedikit tidak memiliki sense of crisis, sulit diterjemahkan ia mengambil peran sebagai apa.

Keempat, mahasiswa isolasi (ibadah, sosial, dan demonstrasi). Kelompok ini tentu lebih memilki kepekaan (sense of crisis) karena peran sebagai mahasiswa melekat dengan kuat pada pribadinya. Peran sebagai kontrol sosial tak cukup, tetapi ia memainkan peran-perannya secara pikiran dan politik baik sebagai agent of change, agent of modernize, atau agent of development.

Konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat) sebagai kewajiban bagi mahasiswa, tetapi peran-peran sosial jangan diabaikan, seperti bersuara lantang di jalanan menolak kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat, seperti kenaikan harga BBM. Dan perguruan tinggi memberi ruang untuk itu sebagai sarana tumbuh berkembangnya pengetahuan.
Simbolisme pengetahuan

Perguruan tinggi adalah simbolisme dari pengetahuan karena di sana proses transaksi pikiran terjadi. Dialektika pengetahuan terus-menerus dilakukan untuk menemukan esensi manusia berpikir, dan itu ada di kampus.

Dalam sejarah disebutkan bahwa perguruan tinggi itu dibangun oleh beberapa soko guru (penopang), di antaranya, pertama, mimbar akademik, yang merupakan sarana bagi sivitas akademika untuk menyampaikan pendapat, saran, kritik sebagai bentuk kebebasan pengetahuan dan menjaga atmosfer akademik.

Kedua, kebebasan akademik, yang merupakan sarana bagi sivitas akademika untuk terus-menerus mengembangkan potensi diri yang bukan hanya pengetahuan itu diperoleh secara kognitif, tetapi juga dengan empirisme. Kebebasan akademik sebagai bukti bahwa kampus itu tak terbelenggu dengan kekuasaan, apalagi dengan kepentingan politik tertentu.

Ketiga, kebebasan keilmuan. Ini sarana bagi sivitas akademika untuk secara kontinu mengembangkan pengetahuan tanpa harus dibatasi.

Menjadi aktivis tidak cukup dengan suara lantang di jalanan, tetapi harus dialas melalui pikiran-pikiran yang bersumber dari pengetahuan, tentunya dengan banyak membaca buku.

Me-review ketiga variabel tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah perguruan tinggi adalah sejarah tentang kemerdekaan, kebebasan, dan pengetahuan. Hanya saja, sering kali kita menjumpai sosok yang mengatasnamakan diri sebagai mahasiswa plus aktivis, tetapi berjauhan dengan buku. Ini kemudian menjadi aneh sebab menjadi aktivis tidak cukup dengan suara lantang di jalanan, tetapi harus dialas melalui pikiran-pikiran yang bersumber dari pengetahuan, tentunya dengan banyak membaca buku.

Buku, politik, pesta, dan cinta, kalau dipahami secara mendalam sesungguhnya frasa ini tersematkan kepada kaum intelektual (mahasiswa). Penyematan ini bukan tanpa alasan bahwa peran politik mahasiswa dari era ke era memang berbeda, bukan hanya pada isu, termasuk juga dengan penguasa yang di zamannya. Termasuk tragedi ”cinta” yang dialami mahasiswa, walau sesungguhnya cinta itu tak selamanya manis, tetapi cinta itu adalah kemewahan bagi mereka yang memilikinya.

Politik heroisme bagi mahasiswa adalah sesuatu yang wajar ketika mahasiswa berhadapan dengan moncong senjata dan tindakan represif penguasa. Walau kadang kita menemukan mahasiswa digebuki oleh penguasa saat demonstrasi, mungkin karena pelanggaran kode etik di jalanan, kode etik pikiran adalah yang terbebaskan—ini miris ketika negara despotis terhadap generasinya.

Karena itu, mahasiswa paling tidak dibekali literasi yang kuat agar terus membaca buku, menulis, sehingga tidak terjebak pada kejumudan dan kehilangan momentum dalam kehidupannya sebagai mahasiswa. Subastian Tito (mantan Presiden Partai Komunis Uni Soviet, sekarang Rusia) pernah mengatakan, ”Mahasiswa tanpa idealisme sebaiknya dikubur hidup-hidup.” Ini sarkasme, tetapi penting bagi seorang mahasiswa agar lakon-lakon sosialnya tetap diperankan.

Sebab, di beberapa negara, termasuk Amerika Latin, kaum civil society begitu kuat dalam melawan hegemoni kekuasaan—dan saya kira di bangsa ini (Indonesia) memiliki sejarah panjang dalam pergolakan politik di mana peran mahasiswa tak terabaikan. Mahasiswa tak memiliki kekuatan politik dalam bentuk regulasi sebagaimana posisi DPR dan presiden, tetapi mahasiswa memiliki pikiran kritis walau jalanan menjadi sajadah panjang bagi mereka untuk berjuang atas nama rakyat. Maka, tentu kita rindu teriakan, “Hidup mahasiswa!”

Pesan penutup: ”Kemiskinan sejatinya bukanlah semalam tanpa makan, melainkan sehari tanpa berpikir” (Ali Syariati).

Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis Buku Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Kekuasaan, Catatan Cacat-an Demokrasi

Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
BUKU, POLITIK, PESTA DAN CINTA BUKU, POLITIK, PESTA DAN CINTA Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar