Breaking News

Peneliti Prof Nidom Sebut Mutasi Eek Lebih Ganas dan Tak Kebal Vaksin


Mutasi virus E484K varian Eek menghebohkan masyarakat. Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF), Prof dr Chairul Anwar Nidom mengatakan virus ini mutasi dari B117. Bahkan, virus ini disebut lebih ganas dari mutasi virus sebelumnya.

"Jadi istilahnya disebut escape mutation berasal dari B117 itu. Jadi B117 ada mutasi lagi di dalamnya yaitu varian Eek. Para ahli sepakat bahwa itu escape mutan, yaitu cara virus menghindari antibodi yang ada dalam tubuh, sehingga tidak mau mati," kata Prof Nidom saat dihubungi detikcom, Selasa (6/4/2021).

Nidom menjelaskan, mutasi virus tersebut pertama kali ditemukan di Afrika Selatan dengan kode B1351 dan di situ terdapat E484K. Namun B117 sudah terkenal lebih cepat. Namun, dari informasi E484K lebih ganas.

"Virus ini (E484K) selain lebih cepat juga mengkhawatirkan penularannya, sifat keganasannya lebih muncul dan disebut escape mutan. Itu proses virus dalam rangka menghindari antibodi dalam tubuh. Setelah diselediki di Brazil ada, Inggris juga ada. Kalau di Inggris informasinya termutan 20 virus dari sekitar 200 ribu pengujian," ujarnya.

Sedangkan mutasi virus Corona B117 dinilai lebih cepat dari mutasi D614G. Prof Nidom khawatir mutasi virus ini lebih ganas, karena virus ini akan meningkat setelah terpapar dan bertemu dengan antibodi.

"Di Indonesia ditemukan satu (Kasus E848K), tapi tidak disertai gejala klinisnya. Secara data harusnya satu itu ditelisik ke pasien siapa yang menerima itu, lalu dicocokkan dengan medical klinik. Ini diumumkan saja bahwa di Indonesia ditemukan virus. Seharusnya ditelusuri, ditemukan di pasien mana, di RS itu kan ada medical record kan, dan dicocokkan dan bisa disampaikan hati-hati dengan gejala klinisnya," jelasnya.

Menurutnya, virus ini harusnya dicocokkan dengan gejala klinis pada kasus yang ditemukan di Indonesia. Sebab, sifat dasar dari virus COVID-19 jinak, namun mutasinya kini disebut lebih ganas.

"Saya melihat virus COVID-19 ini sebetulnya jinak, tapi kalau ketemu komorbid dan mempengaruhi komorbid lebih rusak," katanya.

"Virus ini nggak ganas, seperti flu biasa. Tapi ketika masuk tubuh dan orang itu mempunyai komorbid apakah diabet, darah tinggi, dan lainnya menjadi lebih parah. Sehingga orang tersebut meninggal karena komorbid, bukan karena virus sebetulnya. Tapi belum ada kejelasan apakah virus ini berubah keganasannya atau mempengaruhi komorbid lebih merusak, memperparah. Itu yang belum ada penelitian," tambahnya.

Lalu, apakah E484K kebal terhadap vaksin?

"Iya. Jadi virus ini diduga dia akan mempunyai masalah dengan vaksin, karena dia tergolong dengan escape mutan. Yaitu mutasi yang disebabkan betul-betul oleh antibodi dalam diri pasien. Jadi kalau ada kecurigaan dengan vaksin ini harus hati-hati. Karena kesitu arahnya," kata Nidom.

"Mungkin tidak semua vaksin (kebal), tapi harus diselidiki dulu. Vaksin apa yang tepat, jadi misalkan AstraZeneca dan Sinovac itu tidak efektif dengan mutasi B117," imbuhnya.

Nidom menjelaskan, di Indonesia varian mutasi ada bermacam-macam, tanpa ada penelitian terhadap virus. Sehingga orang hanya disuntik vaksin saja.

"Pemerintah hanya mengejar target suntikan, tidak mengejar target efisiensi. Ini yang saya khawatirkan nanti terjadi data palsu," ujarnya.

Untuk kasus varian Eek ini, lanjut Nidom, sebaiknya masyarakat harus memeriksakan titer antibodi setelah vaksinasi untuk menghadapi masalah vaksin. Selama ini masyarakat menilai setelah divaksin maka tubuh akan aman.

"Tidak seperti itu pemikirannya. Karena macem-macem variasi virus. Jadi masyarakat sebaiknya mengetahui hasil antibodi setelah vaksin," katanya.

Adapun tiga hal yang disarankan saat vaksin COVID-19 yakni pertama, apakah vaksin itu menimbulkan antibodi atau tidak, jika tidak, maka alternatifnya harus divaksin lagi. Kedua, apakah di dalam tubuh orang tersebut setelah vaksin menimbulkan titer antibodi yang cukup dan bisa melawan atau mempunyai daya protektif terhadap melawan virus Corona.

"Tapi kelompok ketiga, ketika antibodi tinggi cukup tapi tidak bisa melawan virus COVID-19, berarti harus ganti vaksin. Nggak bisa seperti suntik anak-anak. Suntiknya beda, lawannya beda. Masyarakat, kalau saya boleh mengimbau sebaiknya diuji. Jadi saran yang kita berikan kepada masyarakat setelah vaksin jangan melupakan prokes untuk menghindari virus berdasarkan hak asasi virus. Virus itu tidak dimatikan di dalam tubuh, tapi dibiarkan mati di luar," urainya.

Nidom juga menyarankan untuk dilakukan pengujian titer antibodi dan daya antibodi. Sebab terdapat tiga kemungkinan, pertama terbentuknya titer antibodi dan bisa melawan virus lapangan. Kedua, terbentuk titer antibodi tetapi tidak bisa melawan virus lapangan.

"Nah ini keputusannya harus ganti vaksin. Ketiga bahwa tidak terbentuk antibodi dan tidak bisa melawan virus dan orang kadang-kadang setelah vaksin masih terinfeksi itu harus ganti vaksin atau ulang vaksinnya," lanjut Nidom.

Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Prof dr Chairul Anwar Nidom/Net
Peneliti Prof Nidom Sebut Mutasi Eek Lebih Ganas dan Tak Kebal Vaksin Peneliti Prof Nidom Sebut Mutasi Eek Lebih Ganas dan Tak Kebal Vaksin Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar