Breaking News

Teoekologi, Kuasa dan Bencana


Selalu ada pameo yang sering kali bertentangan seperti; “bahwa bencana, tragedi, merupakan takdir dari Tuhan yang tidak dapat terelakkan, sementara di sisi yang lain ada juga yang berpendapat bahwa  bencana, tragedi selalu diciptakan oleh manusia”. Dari kedua pernyataan tersebut dapat ditarik garis pemahaman bahwa segala sesuatu yang (mungkin) terjadi memiliki hukum causalitas nya adalah takdir Tuhan dan ulah tangan manusia. tetapi dalam perspektif ini tetap saja berbeda. 

Dalam pandangan teologis, Tuhan memberikan anugerah kekayaan alam untuk kemaslahatan ummat manusia, memeliharanya, menjaganya serta diperuntukkannya seluruh ummat manusia. Namun karena keserakahan segelintir manusia, dengan keji mereka membabat hutan, melobangi perut bumi dengan pertambangan, mengeruk lautan, serta membunuh habitat flora dan fauna. Sepertinya ambisiusme merengkuh kedaulatan dan nasionalisme.

Cara pandang pembangunan yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologi, menekankan keberlanjutan, keseimbangan alam, keadilan sosial, dan partisipasi masyarakat agar pembangunan tidak merusak lingkungan dan memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan masa depan. Ini bergeser dari model antroposentris (berpusat pada manusia) menuju ekosentrisme di mana manusia adalah bagian dari ekosistem yang lebih luas, mewajibkan tanggung jawab moral terhadap semua komponen ekologis, bukan hanya manusia, tetapi termasuk dengan flora dan fauna.

Merespon kondisi kerusakan lingkungan yang terjadi di belahan dunia mengakibatkan berbagai respon untuk mengembalikan habitus alam dengan cara:  (1) keselarasan ekologis, memastikan pembangunan selaras dengan daya dukung dan daya lenting lingkungan, seperti menjaga ruang terbuka hijau dan keanekaragaman hayati. (2) Interdependensi, mengakui hubungan kompleks antara manusia, alam, dan sumber daya, di mana kerusakan satu bagian akan memengaruhi bagian lain. (3) Keadilan sosial dan pemerataan, yakni pembangunan harus mengurangi kesenjangan ekonomi dan memberikan kesempatan yang setara bagi semua anggota masyarakat. (4) Partisipasi masyarakat, yaitu melibatkan masyarakat luas sebagai subjek pembangunan, bukan hanya objek, melalui fasilitasi pemerintah untuk menampung aspirasi. (5) Pendekatan sistemik, memandang pembangunan sebagai sistem holistik yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara terintegrasi. 

Pesan dari Stockholm 1972

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup Manusia di Stockholm tahun 1972 mengawali era baru kerja sama global dalam isu lingkungan. Konferensi ini membuka jalan bagi konsep pembangunan berkelanjutan dan melahirkan Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pelajaran apa yang dapat dipetik dari konferensi ini saat kita menghadapi krisis global yang terus meningkat dari tahun ke tahun. 

Satu catatan pada tahun 1972, Satelit Apollo 17 mengambil foto berwarna pertama tentang bumi. Foto itu memperlihatkan dunia kita sebagai kelereng biru yang berlatar belakang hamparan hitam. Secara bersama-sama manusia memahami bahwa bumi yang satu ini adalah sistem yang tertutup, terbatas, dan satu-satunya rumah manusia. Dan itu merupakan tanggung jawab manusia untuk merawat kelereng biru manusia (atau Satu Bumi) “sebagai mekanisme yang utuh dan rumit yang mendukung jaringan kehidupan yang saling berinteraksi dan terhubung yang sangat rumit” (Engfeldt, 2009, hlm.26). 

Dan selama dekade sebelum dan sesudahnya, serangkaian bencana lingkungan memicu kesadaran dan perhatian dunia dan ummat manusia tentang lingkungan hidup. seperti 750 orang tewas dalam kabut “sup kacang” yang disebabkan oleh polusi udara di London pada tahun 1962. Tumpukan limbah tambang batu bara runtuh pada tahun 1966, mengubur 116 anak-anak dan 28 orang dewasa di Aberfan, Wales. Pada tahun 1967, kapal tanker minyak Torrey Canyon menumpahkan jutaan liter minyak di Selat Inggris. Pada tahun 1969, sebuah kereta api yang lewat tanpa sengaja memicu serpihan-serpihan puing yang mengapung dan terkena tumpahan minyak di Sungai Cuyahoga, Ohio. Tumpahan minyak di lepas pantai Santa Barbara, California, menewaskan sekitar 3.500 burung laut. 

Sementara Eropa dikejutkan oleh keracunan ikan massal di Sungai Rhine. Kekeringan melanda Sahel, menyebabkan kelaparan di antara sebagian orang termiskin di dunia. Jepang berduka atas 2.265 korban keracunan merkuri yang disebabkan oleh perusahaan kimia yang melepaskan racun tersebut ke Teluk Minamata. Nama tempat itu kemudian digunakan untuk menyebut penyakit Minamata, penyakit saraf yang disebabkan oleh keracunan merkuri.

Rachel Carson menulis satu artikel yang bertajuk “Silent Spring”, dengan berusaha menangkap momen publik secara ilmiah. Carson mengungkap dampak buruk pestisida dan zat kimia lainnya terhadap manusia dan lingkungan. Para ilmuwan mulai mempelajari dampak negatif dunia industri terhadap lingkungan dan masyarakat. Para ilmuwan dan pemimpin negara berkembang mengecam eksploitasi bahan baku yang terus berlanjut di negara mereka.

Di tengah perang dingin dan banyak negara berjuang untuk membebaskan diri dari kolonialisme, jelas bahwa respons kolektif diperlukan. Beberapa pemerintah menyerukan perluasan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa ke bidang lingkungan. Perjanjian dasar PBB, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, bertujuan untuk meningkatkan kondisi kehidupan semua orang, dan mempromosikan perdamaian, stabilitas, pembangunan ekonomi, dan hak asasi manusia. Namun, perjanjian tersebut tidak membahas masalah lingkungan. Pada akhirnya, “inisiatif sebuah negara kecil di Skandinavia yang meletakkan dasar bagi kerja sama internasional dalam masalah lingkungan” (Grieger, 2012).

Isu lingkungan tidak pernah bebas dari perselisihan dan pertentangan. Perdebatan ini membentuk Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan Hidup Manusia tahun 1972 dan, pada gilirannya, pengelolaan lingkungan selama 50 tahun berikutnya. Gagasan-gagasan utama, seperti pembangunan berkelanjutan, dan lembaga-lembaga, seperti Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), ada saat ini karena diskusi-diskusi yang dipicu oleh konferensi tersebut. Konferensi Stockholm menunjukkan bahwa, dengan kepemimpinan dan mendengarkan keprihatinan semua pihak, kerja sama dalam isu-isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan adalah mungkin bisa diwujudkan dengan cara social responsibility terhadap isu-isu lingkungan. 

Pergeseran Paradigmatik

“Bumi Masih Satu” sebuah pesan Stockholm 1972 sebagai upaya radikal bagi negara-negara yang concern terhadap isu-isu lingkungan hidup, yang juga pada akhirnya mengalami pergeseran paradigma (Setting Paradigm), yaitu  dari antroposentrisme ke ekosentrisme yakni mengganti pandangan dominan bahwa manusia adalah pusat dan penguasa alam, menjadi bahwa manusia adalah bagian dari jaringan kehidupan yang saling bergantung satu sama lain. Dari pertumbuhan ke keberlanjutan: fokus tidak hanya pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada distribusi kebutuhan hidup, ketahanan sumber daya, dan pencegahan degradasi lingkungan sehingga manusia dapat hidup dengan berkecukupan baik materi maupun inmateri. 

Dalam situasi krisis ekologi global yang melanda dunia akibat eksploitasi sumber daya alam, maka pandangan ideologi dunia terhadap kondisi ekologi sangat beragam, sering kali mencerminkan prioritas yang berbeda antara pembangunan ekonomi, kebebasan individu, dan kelestarian lingkungan. Ideologi-ideologi utama menawarkan kerangka kerja yang berbeda dalam mendekati krisis ekologi global, sekaligus memberi ruang solutif. 

Dari pandangan liberalisme dan kapitalisme: Ideologi ini cenderung memprioritaskan kebebasan individu dan kepemilikan pribadi, dengan keyakinan bahwa pasar bebas dan inovasi teknologi dapat menyelesaikan masalah lingkungan. Pendekatan ini sering mengarah pada solusi berbasis pasar seperti perdagangan emisi atau pajak karbon, namun dikritik karena memfasilitasi konsumerisme dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan demi keuntungan. Karena orientasi keuntungan secara ekonomi, maka eksploitasi sumber daya alam dengan perusakan lingkungan secara besar-besaran tanpa mempertimbangkan aspek manusia dan dampak yang ditimbulkannya. 

Sementara pandangan konservatifisme sering kali menekankan pentingnya melestarikan warisan alam dan sumber daya untuk generasi mendatang, tetapi mungkin skeptis terhadap regulasi pemerintah yang ketat atau perubahan radikal dalam gaya hidup. Beberapa varian dapat mendukung konservasi sumber daya melalui pengelolaan yang bijaksana, sementara yang lain mungkin memprioritaskan pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Di sisi yang lain sosialisme dan komunisme, yang cenderung melihat krisis ekologi terkait erat dengan ketidakadilan sosial dan struktur ekonomi kapitalis. Mereka berpendapat bahwa kepemilikan sosial atas alat-alat produksi dan perencanaan ekonomi yang terpusat dapat memastikan distribusi sumber daya yang lebih adil dan pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan. Ekososialisme adalah cabang yang secara eksplisit menggabungkan aspek sosialisme dengan politik hijau (Political Green). 

Ekologisme (Politik Hijau) adalah ideologi politik yang berfokus secara eksklusif pada isu-isu lingkungan hidup. Ini mencakup spektrum pandangan dari ekologi dangkal (fokus pada solusi teknis untuk masalah lingkungan demi kepentingan manusia) hingga ekologi dalam (pendekatan biosentris atau ekosentris yang menuntut perubahan radikal dalam hubungan manusia dengan alam, menantang antroposentrisme). Ideologi ini mengadvokasi perubahan sosial yang drastis, seperti mengurangi permintaan energi daripada sekadar beralih ke sumber yang terbarukan.

Pada pandangan berikutnya, ideologi developmentalisme, Ideologi ini, yang dominan di banyak negara berkembang, memprioritaskan pembangunan ekonomi yang cepat sebagai jalan keluar dari kemiskinan, sering kali mengorbankan pertimbangan ekologis. Hal ini sering dikritik oleh gerakan lingkungan karena menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan karena dampak yang ditimbulkan dari ekploitasi sumber-sumber daya lingkungan dan alam. Sehingga secara keseluruhan, pandangan ideologis ini membentuk cara negara dan masyarakat merespons tantangan ekologis, mulai dari penolakan, solusi teknokratis, hingga tuntutan perubahan sistemik yang radikal. 

Dan fenomena ini terus terjadi di beberapa negara dengan melihat berbagai kerusakan lingkungan hidup yang menyebabkan terjadinya banjir, longsor dan deforestasi yang meningkat. Pandangan dunia lingkungan akan berada di suatu tempat dalam spektrum antara antroposentris dan biosentris terkait lensa yang digunakan pandangan dunia untuk melihat lingkungan dan di mana pandangan dunia tersebut menempatkan nilai.

Perspektif Dunia Barat

Pandangan dunia Barat, yang juga dikenal sebagai pandangan dunia manajemen planet, adalah pandangan dunia antroposentris. Pandangan dunia antroposentris berfokus pada manusia dan memandang lingkungan dari perspektif utilitarian, yang didominasi manusia atas alam. Pandangan dunia ini biasanya dibangun di atas keyakinan mendasar bahwa manusia terpisah dari alam dan bahkan lebih penting daripada alam. Secara umum, sebagian besar manusia cenderung menganut pandangan dunia barat dan keyakinan yang dianutnya.

Pandangan dunia barat meyakini bahwa planet ini adalah aset yang harus dikelola dan manusia adalah pengelolanya. Karena keyakinan mendasar ini bahwa planet, termasuk alam, dimaksudkan untuk dikelola oleh manusia, pandangan dunia barat juga meyakini bahwa alam ada untuk kita, bukan bersama kita. Orang-orang yang menganut pandangan dunia barat percaya bahwa sumber daya tidak terbatas, sehingga tidak perlu menggunakannya secara berkelanjutan atau melestarikannya. Pandangan dunia barat juga meyakini bahwa kemajuan teknologi dapat dan akan menyelesaikan masalah apa pun yang dihadapi manusia. Keyakinan utama lainnya dari pandangan dunia barat adalah bahwa nilai alam didasarkan pada apa yang dapat diberikannya kepada manusia.

Pandangan dunia lingkungan Barat akan menempatkan nilai tertinggi pada manfaat manusia dari keputusan politik, sosial, keuangan, dan lain-lain, terkait dampak lingkungan. Secara umum, pandangan dunia ini lebih menghargai pelestarian dan peningkatan diri daripada perubahan perilaku yang akan mengurangi kerusakan alam. Pandangan dunia Barat terkadang dapat menghasilkan hasil lingkungan yang positif, meskipun berfokus pada manusia, jika pilihan pro-lingkungan tersebut bermanfaat bagi manusia . Pandangan dunia barat melihat alam melalui forto polio pembangunan. 

Kekuasaan dan Konsekuensi Logisnya

Dari bencana lingkungan hidup, tentu tidak hanya dilihat dari aspek secara alamiah itu terjadi tetapi juga harus dilihat dari aspek politik-kekuasaan, yang berarti bahwa legacy politik terhadap konsesi hutan, pembalakan liar, pertambangan dan pengerukan laut, dengan cara membungkus dengan isu pembangunan. tetapi faktanya, hanya menguntungkan segelintir orang dan kelompok yang sering disebut dengan kaum oligarki. 

Legacy politik-kekuasaan atas berbagai isu lingkungan dengan kepentingannya secara ekonomi, justru menyisakan berbagai dampak buruk bagi keberlanjutan pembangunan di satu sisi, tetapi di sisi yang lain mennyisakan duka dan kemiskinan bagi masyarakat—akibat kehancuran ekosistem dan ekologi sebagai rumah manusia. Konsekuensi logis atas politik-kekuasaan itu seharusnya mempertanggung jawabkan terhadap apa yang etrjadi atas dampak kerusakan lingkungan. Dan apa yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini yang melanda Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat; justru pejabat publiknya lebih cendrung membangun citra, fantasi, bahkan cuci tangan terhadap apa yang terjadi. Konsekuensi logis itu tidak pernah terjadi—pesan publik, kalau anda gagal, lebih baik mundur atau dicopot dari jabatan politiknya. 

Dan sejarah mencatat ada beberapa tokoh dunia dan pejabat pemerintah yang  mengundurkan diri karena penanganan bencana ekologi yang buruk atau kebijakan lingkungan yang kontroversial, baik akibat tekanan publik maupun karena konflik internal, atau publik menganggap gagal. Contohnya; Carlos Mazon (Presiden Wilayah Valencia, Spanyol) mengundurkan diri pada November 2025 setelah menghadapi kritik keras dan kemarahan publik atas penanganannya terhadap banjir bandang dahsyat pada Oktober 2024 yang menewaskan lebih dari 230 orang. Pemerintahannya dikritik karena respons yang lamban dan kegagalan mengeluarkan peringatan darurat yang tepat waktu. 

Berikutnya David Malpass (Presiden Bank Dunia), yang ditunjuk oleh Donald Trump, mengumumkan pengunduran dirinya pada Februari 2023 setelah menuai kontroversi karena menolak mengakui bahwa bahan bakar fosil mendorong krisis iklim. Pernyataannya memicu kecaman luas dari para aktivis lingkungan dan beberapa negara anggota. Ricardo Salles, (Menteri Lingkungan Brasil) juga mengundurkan diri pada Juni 2021 di tengah penyelidikan atas dugaan menghalangi penyelidikan polisi terhadap pembalakan liar di Amazon. Masa jabatannya ditandai dengan meningkatnya deforestasi dan kritik terhadap kebijakan lingkungannya. 

Begitu pula Zac Goldsmith (Menteri Lingkungan Hidup Inggris) Lord Goldsmith mengundurkan diri dari jabatannya di pemerintahan Inggris pada Juni 2023. Dalam surat pengunduran dirinya, ia menuduh Perdana Menteri Rishi Sunak "tidak tertarik" pada isu lingkungan dan mengabaikan komitmen iklim. Philip Dilley (Ketua Environment Agency, Inggris) mundur pada Januari 2016 setelah dikritik karena berlibur di Barbados saat banjir besar melanda Inggris utara selama periode Natal. Pengunduran dirinya menyoroti tuntutan akuntabilitas pejabat publik selama krisis alam. Naoto Kan (Perdana Menteri Jepang) meskipun tidak secara langsung karena "kerusakan ekologi", Naoto Kan mengundurkan diri pada Agustus 2011 di tengah kritik luas atas penanganan pemerintahannya terhadap bencana gempa bumi, tsunami, dan krisis nuklir Fukushima berikutnya. Bahkan beberapa menteri-menteri Lebanon setelah ledakan dahsyat di Pelabuhan Beirut pada Agustus 2020, beberapa menteri, termasuk Menteri Lingkungan Damianos Kattar dan Menteri Informasi Manal Abdel Samad, mengundurkan diri karena malu dan tekanan publik atas kegagalan pemerintah dalam mengelola fasilitas pelabuhan yang tidak aman.  

Banjir bandang di tiga propinsi di Indonesia (Aceh, Sumatera Utara dan Suamtera Barat) dengan menelan korban jiwa mencapai seribu orang, belum lagi dengan kerugian materi dan inmateri (mental, trauma)—tetapi hingga saat ini belum ada seorang pejabat publik pun yang berani menyatakan mengundurkan diri, dengan tegas menyatakan nahwa “saya gagal”, justru yang ada adalah “dramaturgi” , ngeles, nyeleneh, serta berbagai apologi (pembenaran), dan lalu cuci tangan, dan membangun fantasi dan citra di tengah bencana. Ini adalah kedangkalan nurani dan kemanusiaan. 

Misi suci teoekologi

Konsepsi teoekologi yang ada di belahan dunia tentu berdasarkan karakteristik masyarakat dalam memandang pemanfaatan kekayaan alam yang di milikinya. Krisis lingkungan yang melanda dunia dan Indonesia dalam dua dekade terakhir semakin menegaskan bahwa bencana ekologis bukanlah fenomena alamiah yang terjadi begitu saja, melainkan hasil dari keputusan dan praktik manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap alam dan lingkungan. Bencana banjir, longsor, dan kerusakan daerah aliran sungai di berbagai wilayah di Indonesia.  Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—menjadi bukti nyata bahwa ekspansi industri ekstraktif, adanya legacy politik-kekuasaan dengan berbagai ijin produksi terhadap hutan untuk tambang dan sawit. 

Catatan sekaligus temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bahkan mencatat bahwa deforestasi di kawasan Sibolga telah mencapai 250.000 hektare, dengan laju kerusakan meningkat 30 persen hanya dalam lima tahun terakhir. Angka ini bukan sekadar fenomena statistik, tetapi ini mencerminkan transformasi ekologis yang mengancam kehidupan sosial, pranata sosial, lingkungan, adat, budaya, ekonomi, bahkan bangunan spiritualitas dan keyakinan masyarakat setempat (Locally People).

Kerusakan lingkungan jelas tidak pernah muncul begitu saja. Ia selalu bersumber dari cara manusia membangun relasi dengan alam. Apakah alam dilihat sebagai wilayah sakral (sacral area) yang harus dirawat, atau sebagai komoditas yang boleh dieksploitasi atas nama pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. 

Dalam konteks Indonesia, teoekologi yang dianggao sebagai pendekatan yang menelaah relasi antara manusia, Tuhan, dan alam. Pandangan ini memberi ruang bagaimana manusia seharusnya bertindak dalam alam, sekaligus menyoroti ragam cara masyarakat memahami, menerima dan merasakan pembangunan (Sense of Belonging). 

Pandangan teoekologi puritan dapat dikaitkan dengan cara pandang Islam puritan, yakni tradisi keagamaan yang menekankan pemurnian aqidah dari praktik-praktik yang dianggap sebagai inovasi atau penyimpangan dari ajaran asli Islam (Burhani, 2018). Dari prinsip tauhid yang menjadi pusat ajaran mereka, lahir pandangan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang memiliki tatanan fitrah: alam sebagaimana adanya, yang telah diciptakan dengan keseimbangan dan keteraturannya sendiri.

Dalam pandangan ini, manusia tidak boleh bertindak secara berlebihan terhadap alam. Eksploitasi yang merusak dipahami sebagai fasad fil-ardh (kerusakan di muka bumi), sebagaimana diperingatkan dalam QS. Al-Baqarah 2:11–12. Karena itu, menjaga alam dipandang sebagai bagian integral dari kesalehan. Perilaku merawat lingkungan sejajar dengan kewajiban spiritualitas manusia dengan Tuhannya. Namun demikian, pendekatan ini memiliki keterbatasan. Karena berfokus pada pelestarian total, puritan teoekologi terkadang dianggap kurang responsif terhadap perubahan sosial-ekonomi modern. Bahkan konsep ini cendrung statis-pasif dalam teori perubahan sosial. 

Sementara teoekologi progresivisme juga lahir dari pendekatan Islam progresif yang menekankan pentingnya pembaruan, reinterpretasi, transformatif dan kontekstualisasi pada ajaran agama (Abou El Fadl, 2005). Dalam perspektif ini, alam tidak hanya dilihat sebagai ciptaan Tuhan yang harus dijaga, tetapi juga sebagai potensi ekonomi yang perlu dikelola secara rasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kelompok progresif ini; pemerintah, pengusaha, hingga komunitas yang mendukung pembangunan skala besar dan jangka panjang (Long range) yaitu melihat pembangunan sebagai indikator utama kemajuan. Pemanfaatan sumber daya alam dianggap sah selama mengikuti regulasi formal, didukung analisis dampak lingkungan, dan diletakkan dalam visi pembangunan jangka panjang (Escobar, 2011). 

Namun praktik progresivisme di Indonesia menyimpan paradoks. Konsep “pembangunan berkelanjutan” kerap digunakan sebagai legitimasi proyek industri besar, tetapi regulasi yang lemah sering membuat pengawasan tidak efektif. Ketika kepentingan ekonomi dan politik lebih dominan, pembangunan yang disebut berkelanjutan justru berkontribusi pada kerusakan ekosistem (Monbiot, 2016). Dalam konteks ini, progresivisme dianggap terlalu utilitarian, menempatkan alam sebagai objek ekonomi semata (Economic Oriented). 

Pertentangan antara puritanisme teoekologi dengan progresivisme teorkologi mencerminkan perdebatan fundamental mengenai bagaimana manusia memperlakukan alam. Puritanisme menawarkan etika ekologis berbasis kesucian alam, sementara progresivisme menawarkan etika utilitarian berbasis kebutuhan pembangunan, sangat politik-ekonomi.  Keduanya memiliki dasar rasional masing-masing, tetapi juga membawa kelemahan. Teoekologi puritanisme cenderung mengabaikan kebutuhan ekonomi masyarakat, sementara teoekologi progresivisme sering melampaui batas ekologis, yang akibatnya berdampak pada kerusakan lingkungan secara signifikan. 

Karena itu teoekologi menawarkan jalan tengah yang mengintegrasikan nilai spiritual puritanisme di sisi yang satu, dengan kepekaan sosial progresivisme di sisi yang lainnya. Dalam paradigma integratif ini, alam dipandang sebagai ciptaan yang harus dijaga, namun juga dapat dimanfaatkan secara terbatas etis, moral dan nilai dengan prinsip keadilan ekologis dan tanggung jawab lintas generasi secara suistanable. Dengan mengintegrasikan keduanya, kita dapat membangun kerangka pemikiran ekologis yang lebih holistik dan konstruktif, yang tidak hanya menjaga keberlanjutan alam, tetapi juga mendukung kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan, adil dan merata. 

Indonesia membutuhkan paradigma pembangunan yang tidak mengorbankan alam demi pertumbuhan, dan tidak pula menolak pembangunan demi konservasi total. Paradigma ekologis integratif inilah yang dapat menjadi jalan tengah. Sebuah cara pandang yang melihat alam sebagai amanah yang sunnatullah, dan pembangunan sebagai tanggung jawab etis, moral dan nilai. 

Sehingga apa yang terjadi belakangan ini di Indonesia; Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat Krisis lingkungan di Indonesia—mengharuskan kita menata ulang relasi manusia, Tuhan dan  alam, termasuk penataan regulasi yang populis dari kekuasaan dengan menjadikan teoekologi puritanisme dan teoekologi progresivisme dalam kerangka paradigmatik; menjadikan alam sebagai entitas suci (sakralitas) yang perlu dijaga sebagai amanah dari Tuhan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci di satu sisi, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan untuk kemaslahatan ummat manusia di sisi yang lain. 

Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Kritikus Sosial Politik, Penggiat Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Teoekologi, Kuasa dan Bencana Teoekologi, Kuasa dan Bencana Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar