Breaking News

Prabowo: Delegitimasi Penegakan Hukum


Secara konstitusional hak prerogatif presiden dijamin oleh undang-undang dasar negara Republik Indonesia (UUD 1945) sebagai sumber hukum bernegara. Hak prerogatif presdien adalah hak yang dimiliki oleh kepala negara atau presiden yang bersifat istimewa, mandiri dan mutlak yang diberikan oleh konstitusi dalam lingkup kekuasaan pemerintahan. Hak prerogatif seperti abolisi, amnesti, grasi dan rehabilitasi menjadi kewenangan atas kekuasaan seorang presiden. 

Sebagai hak konstitusional yang melekat pada seorang presdien; maka tak ada larangan bagi seorang presiden memberikan abolisi, amnesti, grasi dan rehabilitasi bagi warga negara yang tidak mendapatkan keadilan atas proses peradilan yang dianggap bertentangan dengan norma-norma yang ada, termasuk norma hukum yang ada. Artinya pemberian terkait hak prerogatif presiden kepada seseorang menjadi hak mutlak ketika seseorang mengalami tindakan persekusi (perlakukan hukum yang tidak lazim)---maka negara harus hadir memberikan jaminan hukum atas perilaku ketidak-adilan. 

Sebagai contoh kasus pemberian abolisi kepada Tom Lembong di kasus impor gula, Hasto di kasus suap Harun Masiku beberapa waktu yang lalu--yang memicu respon publik secara positif terhadap keputusan presiden Prabowo, dan banyak pihak memberi testimoni kalau presiden Prabowo mendengar suara publik, dan menyimak adanya praktek “Political trial”, dan keputusan itu dianggap cukup tepat. Dan secara beruntun presiden Prabowo kembali memberikan rehabilitasi kepada mantan direktur ASDP Ira Puspadewi atas dugaan korupsi di tubuh ASDP. Fenomena ini mencerminkan kalau proses peradilan dan penegakan hukum di Indonesia masih berada di “ruang gelap nan kotor”. Maka sangat tepat langkah presiden Prabowo untuk memberikan rasa keadilan kepada warha negaranya dengan cara memberikan abolisi, amnesti, grasi dan rehabilitasi atas praktek hukum yang kotor dan brutal. 

Delegitimasi

Dalam berbagai literatur disebutkan kalau legitimasi itu adalah pengakuan secara sah atas kewenangan pemerintah, termasuk legitimasi dari hasil pemilu yang menerima kedaulatan dari rakyat. Berbeda dengan pandangan Bourdieu tentang sebutan “ Dominasi Simbolik” atau lebih dikenal dengan istilah “Doxa” yakni pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan seluruh masyarakat. Artinya legitimasi itu harus diperoleh melalui pengesahan secara sadar dari rakyat untuk penguasa. 

Jika berbicara tentang kekuasaan rasanya belum lengkap kalau tidak membahas legitimasi kekuasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), legitimasi adalah keterangan yang mengesahkan atau membenarkan bahwa pemegang keterangan adalah betul-betul orang yang dimaksud atau kesahan. Sementara itu, legitimasi berasal dari bahasa Latin, yaitu lex yang artinya hukum. Akan tetapi, seiring dengan perkembangannya, legitimasi bukan hanya membicarakan tentang hukum yang ada di dalam sebuah peraturan saja, tetapi juga membahas hukum-hukum yang berlaku di masyarakat, seperti norma-norma dalam lingkungan masyarakat. 

Pada dasarnya, pengertian legitimasi kekuasaan menurut para ahli berbeda-beda. Meskipun pengertian legitimasi kekuasaan berbeda-beda, tetapi secara garis besar legitimasi kekuasaan adalah suatu bentuk yang dibuat masyarakat dalam menerima dan percaya terhadap pemerintahan, pemimpin, pejabat negara, dan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa selama masyarakat merasa terlindungi dan merasa sejahtera, maka mereka bisa menerima dan percaya terhadap kepemimpinan suatu pemerintahan.

Namun, apabila ada anggota masyarakat yang merasa kalau dirinya atau kelompoknya tidak terlindungi, maka legitimasi kekuasaan pemerintahan bisa saja hancur atau tidak bisa dipertahankan. Tidak hanya itu, hal dapat terjadi karena para pemimpin dan pejabat negara tidak dapat menunjukkan kinerja dengan baik, sehingga anggota masyarakat banyak kecewa. Dengan demikian, bagi pemerintah yang ingin mempertahankan legitimasinya sudah seharusnya bisa memenuhi kebutuhan masyarakatnya agar kesejahteraan bagi anggota masyarakat dapat terjamin. Semakin banyak masyarakat yang sejahtera, maka legitimasi pemerintahan di mata masyarakat akan terus meningkat.

Dalam sistem politik dan pemerintahan Indonesia yang menganut Trias Politika; kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif yang ketiganya memiiki fungsi masing-masing di dalam memutuskan kebijakan-kebijakan. Dalam tradisi politik modern Montesquieu berpandangan bahwa pemisahan kekuasaan (Separation of power), adalah merupakan kerangka dasar dalam penataan pemerintahan yang efektif dan tidak overlep. Namun faktanya dalam beberapa kasus, penegakan hukum terutama dalam praktek peradilan ditemukan “das sein und das sollen”  yang kemudian memicu respon publik yang beragam, yang kemudian membelah persepsi publik. 

Politisasi hukum (Political trial), yang sebagian kalangan menilai bahwa penegakan hukum bukan semata tuntutan supremation of law, tetapi penegakan hukum lebih karena tekanan politik (by order), yang (mungkin saja) untuk menutupi keborokan rezim atau pejabat terkait yang terindikasi melakukan kejahatan politik seperti korupsi. Sehingga mau atautidak harus mengorbankan orang lain--sehingga terkesan ada konsistensi di dalam penegakan hukum, walau berujung pada penegakan hukum yang tebang pilih, tajam ke lawan tumpul ke kawan. Fenomena ini sulit untuk ditutupi, sebab kekuatan kontrol sosial (netizen, pengguna media sosial) sulit untuk dibendung. Bagaimana kekuatan betizen mentag Presiden Prabowo Subianto terkait; pagar laut, gas elpiji, korupsi pertamina, kasus timah, tambang nikel di Raja Ampat, kriminalisasi Tom Lembong, Hasto Kristiyanto—yang keduanya diberikan abolisi oleh presiden, termasuk Ira Puspadewi di kasus ASDP dengan menerima rehabilitasi dari presiden. 

Sekali lagi bahwa pemberian hak prerogatif presiden berupa abolisi kepada Tom Lembong dan Hasto, dan rehabilitasi Ira Puspadewi (mantan Dirut ASDP) merupakan jawaban atas kebobrokan penegakan hukum di Indonesia. Dan ini sekaligus tamparan bagi penegak hukum yang bermain “api di atas samudera”. 

Hak istimewa dari seorang presiden pada akhirnya mendeligitimasi keputusan-keputusan hukum yang bertentangan dengan norma dan prinsip hukum seperti “In criminalibus probantiones bedent esse  luce clariores” bahwa dalam perkaran pidana, bukti-bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Dan prinsip ini nyaris lepas dari keputusan dalam praktek peradilan kita. 

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh presiden Prabowo merupakan kilas balik atas perilaku penegakan hukum yang tidak lazim dilakukan dalam praktek peradilan. 
 
Oleh: Saifuddin 
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis, Analis Sosial Politik dan Penggiat Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Prabowo: Delegitimasi Penegakan Hukum Prabowo: Delegitimasi Penegakan Hukum Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar