Peran Intelektual & Matinya Kepakaran
Perbincangan soal-soal intelektual tak cukup selesai dengan mendefenisikan apa itu intelektual. Dunia intelektual pada dasarnya memiliki jejak sejarah yang tidak dapat terpisah dengan perkembangan pikiran manusia sejak awal. Di banyak kasus, kaum intelektual telah banyak mendapatkan tantangan dan ujian yang demikian berat ketika sloganisme kebenaran menjadi tajuk utama dalam perjuangannya. Alasannya cukup mendasar, sebab tidak semua orang (manusia) bisa menerima kebenaran dengan akal sehat dan budi pekerti (baca; Immanuel kant).
Ranah intelektual jauh-jauh hari di Perancis sering kali memunculkan berbagai friksi diantaranya Jean Paul Sartre yang memilih pikiran voluntarisme yang memandang individu sebagai aktor kreatif bebas subyek membentuk realitas sosial. Sementara Calude Levi-Strauss yang mengambil posisi strukturalisme yang memandang adanya individu yang berdiri sendiri berada di luar realitas sosial yang juga memberi pengaruh pada pelaku sosial dalam membentuk realitas sosial.
Sejalan dengan hal itu pula Marx dalam satu sesi pikirannya mengungkapkan “kalau realitas sosial itu melahirkan kesadaran sosial”—kesadaran sosial yang dimaksudkan oleh Marx adalah tumbuhnya nalar kritis terhadap problematik sosial yang muncul di permukaan. Seperti kemiskinan harus diupayakan dengan kesadaran bekerja keras, tersedianya lapangan kerja yang disiapkan pleh negara. Penindasan harus diupayakan adanya perlawanan, karena penindasan itu selalu muncul dari kelompok yang dominan dalam kehidupan masyarakat, terlebih pada dominasi secara ekonomi dan politik (kuasa). Karena kesadaran intelektual secara kolektif menjadi penting sebagai basis untuk merespon kondisi sosial yang terjadi termasuk gap sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan negara yang tidak populis. Bahkan termasuk pada penegakan hukum yang tidak mencerminkan keadilan yang kadang hukum hanya “tajam pada rakyat, tetapi tumpul pada elit.”
Karena itu gerkan intelektual kolektif (Collective Intelctual Movement) menjadi penting terlibat dalam kritik rasional terhadap semua penyalahgunaan kekuasaan atau otoritas (Pierre Bourdieu).
Sejak memasuki era reformasi, Indonesia telah mengalami beberapa kali transisi kekuasaan secara demokratis dan tanpa konflik berdarah. Hal ini kontras dengan pengalaman berdarah pada transisi kekuasaan dari era Orde Lama menuju Orde Baru. Tragedi berdarah juga mengiringi jatuhnya rezim Orde Baru dari tampuk kekuasaannya. Musim semi demokrasi tampaknya akan berakhir. Masyarakat Indonesia harus menyaksikan masa depan demokrasi dengan tatapan pesimistis. Tetapi reformasi 98 bukanlah gerakan utopia, yang bergerak lalu mati suri. tetapi koreksi dengan dalil-dalil akademis dengan sokoguru gerakan para kaum cerdik pandai (cendikiawan, kampus) secara sistemik berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang despotik saat itu.
Intelektual kolektif adalah gerakan yang bertujuan untuk melawan kuasa ekonomi yang timpang dan politik yang menindas kelompok dan masyarakat pinggiran. Intelektual kolektif berjuang untuk mempertahankan otonomi intelektual, yaitu kebebasan berpikir, berkarya, dan menyuarakan kepentingan kelompok yang terpinggirkan. Mereka bekerja bersama untuk menghasilkan pengetahuan dan tindakan yang dapat mendorong perubahan sosial dan pembebasan.
Gerakan ini menekankan nilai bersama, seperti pembelaan pada otonomi dan tidak memikirkan keuntungan pribadi. Mereka juga kritis terhadap diri sendiri dan tindakan yang diarahkan oleh pencarian keuntungan akan popularitas. Bourdieu mengidentifikasi gerakan intelektual kolektif sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi dan ketidakadilan sosial. Intelektual kolektif adalah konsep yang penting untuk memahami peran intelektual dalam masyarakat, terutama dalam konteks perlawananan terhadap ketidakadilan dan upaya untuk menciptakan perubahan sosial yang lebih baik.
Intelektual kolektif, dalam konteks pemikiran Pierre Bourdieu, adalah gerakan perlawanan terhadap dominasi kekuasaan ekonomi dan politik. Intelektual kolektif ini menekankan pentingnya otonomi intelektual, di mana para intelektual bekerja secara bersama-sama untuk menyuarakan kepentingan kelompok terpinggirkan dan melawan dominasi. Intelektual kolektif menolak ketergantungan pada otoritas dan kekuasaan. Mereka berupaya untuk mempertahankan otonomi intelektual dalam berkarya dan menyuarakan pendapat. Intelektual kolektif bertujuan untuk melawan dominasi kekuasaan ekonomi dan politik, serta memperjuangkan kepentingan kelompok yang terpinggirkan. Intelektual kolektif menekankan pentingnya kerja sama dan solidaritas antar intelektual untuk mencapai tujuan bersama.
Pola gerakan ini tidak hanya kritis terhadap kekuasaan, tetapi juga terhadap diri sendiri dan tindakan yang mungkin mengarah pada pencarian keuntungan pribadi. Intelektual kolektif berupaya untuk mengedepankan kepentingan umum dan masyarakat secara keseluruhan, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Otonomi Intelektual
Tepatnya 12 Desemebr 1995, terjadi pemogokan besar di Prancis. Pemogokan ini menjadi bahan perdebatan nasional. Tema perdebatan berkisar pada soal jaminan sosial dan legalitas aksi pemogokan. Dan Bourdieu terlibat dalam perdebatan tersebut, dan dihampir semua sesi perdebatan Bourdieu selalu berdiri di garda terdepan sebagai pembela pemogokan. Bukan hanya pembela aksi pemogokan, tetapi Bourdieu mengorganisir petisi kaum intelektual untuk mendukung aksi pemogokan. Dan apa yang dilakukan oleh Bourdieu adalah satu sikap politik dan orientasi politiknya menentang kebijakan pemerintah Prancis. Atas sikap politiknya itu, di setiap debat sejak awal tahun 1998, Bourdieu diserang oleh Media Prancis seorang diri, namun Bourdieu menghadapinya sendiri. Bahkan Bourdieu mengatakan “itulah salah satu yang harus dilakukan oleh intelektual, yakni sebagai juru bicara (spokespersons) bagi kaum yang tertindas.
Dalam sebuah pustaka yang berjudul “Sosiology in Question” Bourdieu menyebut “kalau setiap orang bisa menjadi juru bicara untuk dirinya sendiri, dan harus belajar berbicara daripada dibicarakan”—dan intelektual mempunyai kewajiban untuk itu. Terkait otonomi intelektual, Bourdieu menyebutkan kalau otonomi itu ada dalam arena. Artinya otonomi intelektual berada di arena intelektual. Otonomnya sebuah arena tergantung dari kemauan agency yang ada di dalamnya untuk mempertahankan prinsip dan aturan (hukum) yang berlaku. Artinya arena yang otonom mempunyai hukum sendiri (nomos) dan agen berusaha mengatur hukumnya sendiri. Dan pendefenisian tentang hal demikian sering disebut sebagai bentuk tautologi.
Namun otonomi intelektual secara histories merupakan sejarah perebutan untuk memperoleh otonomi intelektual, bagi Bourdieu menyebutnya sebagai “Historical strugglesare struggles for independence.” Bahkan dalam satu referensi “Pascalian Meditation” Bourdie menelaah otonomisasi intelektual, dan baginya proses itu telah terjadi sejak 5 SM di Yunani . Pada masa itu, arena intelektual berusaha melepaskan diri pengarah otoritas agama dan arena politik.
Otonomi intelektual adalah kerangka kebebasan setiap manusia untuk berfikir kritis dengan dalil-dalil rasionalitas tanpa keterbelengguan. Walau sebagian kalangan menganggap kalau keterbelengguan sering kali terjadi akibat dominasi kelompok tertentu termasuk pada kekuasaan yang despotik.
Dan bagi Foucault relasi kuasa dan pengetahuan dalam bukunya “Archeology Knowledge” memberikan gambaran bahwa kekuasaan tidak harus berdiri sendiri sebagai pemegang kebijakan dalam suatu negara, tetapi pengetahuan harus mendapat tempat khusus sebagai penyeimbang dalam kekuasaan. Dalam politik modern bisa disebut sebagai kaum oposisi. Namun perbedaannnya adalah kalau pengetahuan akan mengambil peran secara pemikiran, nalar kritis (reasoning) terhadap sesuatu yang mungkin bertentangan dengan dalil-dalil ilmu pengetahuan. Sementara oposisi secara politik (organisasi, partai politik), akan menjadi kelompok pressure group dalam proses pengambilan keputusan.
Relasi intelektual dan kekuasaan
Dalam konteks sejarah dan pengalaman empiris bagi Indonesia, bagaimana kelompok intelektual yang berbasis nasionalis dan kelompok agama memiliki jejak yang demikian panjang. Budi Utomo (1908) sebagai embrional dari bermulanya gerakan nasionalis di Indonesia, lahir sebagai bentuk kesadaran kolektif dari ter-endapnya pengalaman empirik (mendengar, melihat, mencium) yang disusun secara sistematis dan substantif dan dipelajari secara seksama. Pengalaman empirik ini mendorong upaya untuk membentuk intelektual kolektif di kalangan cendikiawan, santri, nasionalis, dan mahasiswa dengan satu tujuan adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Otonomi intelektual tentu tak semudah yang dibayangkan saat itu, dan di luar nalar logika kalau kemudian bambu runcing dapat mengalahkan sekutu dengan persenjataan yang sudah cukup maju. Tetapi basis intelektualisme di kalangan pelajar menjadi corong perlawanan terhadap kolonialisme. Kesadaran intelektual kolektif ini pada akhirnya berhasil mengagitasi rakyat Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni kaum penjajah.
Sehingga perlawanan pun sulit dihindari dari waktu ke waktu, hingga menuju puncak kemerdekaan 17 Agustus 1945, semangat perlawanan pun tak pernah surut. Intelektual kolektif dibarengi dengan kesadaran kolektif (Collective Consciousness), seperti Soekarno dengan pemikiran nasionalisme yang kuat menuju cita-cita kemerdekaan, belum lagi dari kelompok Islam seperti M. Natsir, Syahrir dan beberapa tokoh lainnya sebagai ruang besar dalam kolaborasi nasionalisme-religius untuk kemerdekaan Indonesia.
Artinya ada relasi pemikiran (relasi kekuasaan dengan pengetahuan) yang cukup kuat yang memberi pengaruh terhadap politik Indonesia di mata dunia untuk menuju kedaulatan dan kemerdekaan. Seperti Tan Malaka yang menulis buku “Menuju Republik Indonesia” sebagai isyarat yang kuat bagi Indonesia menuju cita-cita kemerdekaan. Kemerdekaan Indonesia tak semata perjuangan fisik melawan kolonialisme, tetapi relasi kuasa dan pengetahuan menjadi penting dari founding fathers bangsa ini.
Dan sejarah mencatat, pasca Orde Lama menuju Orde Baru bukan hal yang mustahil semua itu terjadi dalam pergeseran kekuasaan—relasi kuat pemikiran kaum intelektual yang bersumber dari kampus menjadi instrument vital yang kemudian peran kritis kaum intelektual dan kaum agamawan yang kemudian meruntuhkan Despotik Orde Baru.
Kaum intelektual seperti “naik daun” dalam mahkota intelektualisme yang selama ini mengendap dalam kosmik semesta sosial, mati suri bahkan dibungkam. Pertanyaannya apakah kemenangan kaum intelektual itu hanya sebatas menuntaskan mimpi dan kewajibannya sebagai kaum kelas terhormat di strata sosial masyarakat? tetapi yang pasti bahwa kekuatan intelektual di Indonesia memberi pengaruh kuat terhadap perubahan iklim politik dan perubahan demokrasi dari waktu ke waktu.
Sekedar membandingkan satu peristiwa tahun 1896 yang dikenal dengan kasus Dreyfus. Alfred Deryfus adalah seorang Kapten Yahudi dalam Dinas Ketentaraan Prancis, dituduh melakukan kegiatan mata-mata, menjual rahasia militer Prancis kepada agen-agen Jerman, dan akhirnya dicopot pangkatnya oleh sebuah pengadilan militer dan dipenjara seumur hidup. Para penulis Prancis, salah satu Emile Zola seorang penulis novel ternama di Prancis menerbitkan surat terbuka di halaman depan koran “I’ Aurore” sebuah koran kecil di Prancis yang dieditori Georges Clemenceau, sebagai protes terhadap putusan pengadilan militer dan meminta kasus Dreyfus dibuka kembali.
Emile Zola dan kawan-kawan dalam surat terbuka yang tertanggal 14 Januari 1898 menuduh para anggota Dinas Ketentaraan Prancis telah melakukan rekayasa dengan cara menutup-nutupi fakta tersebut. Surat terbuka ini kemudian dikenal sebagai“ Mamnifes Des Intelectuals” (Manifesto para intelektual) yang ditanda tangani oleh beberapa aktivis tokoh dan penulis seperi Emile Zola, Anatole France, Daniel Halewy, Feneon, Lucien Herr, Leon Blum, Marcel Proust. Walau kondisi tersebut membelah dukungan dalam dua kubu baik yang pro Dreyfus maupun yang anti Dreyfus.
Julian Benda misalnya, yang semula percaya pada kesalahan Dreyfus, mulai mempelajari laporan-laporan kasus Dreyfus di berbagai surat kabar. Berdasarkan telaahannya, Julian Benda menarik kesimpulan kalau Dreyfus tidak bersalah sama sekali. Julian Benda kemudian banyak menulis sejumlah karangan dalam ”Renue Blanche” tulisan-tulisan Benda banyak menyerang tentara, yang notabene pada saat itu menjadi musuh utama para kaum intelektual. Menurut Julian Benda, “kode kehormatan tentara, bertentangan dengan kejujuran intelektual.”
Serangan Julian Benda terhadap tentara kembali terdengar kembali gaungnya setelah karyanya yang bertajuk “La Trahison Des Clercs” atau yang dikenal dengan “Penghianatan Kaum Cendikiawan” yang terbit pada tahun 1927, sehingga karya tersebut di masyarakat Prancis dianggap sebagai peringatan atas peran-peran kaum intelektual dalam mengambil posisi direlasi kekuasaan. Bahwa fungsi kaum intelektual adalah menjadi penyanggah peradaban dan perintis jalan kebenaran.
Oleh karena itu, peran intelektual sangat penting di dalam sebuah negara, bukan hanya mendorong perubahan di tengah masyarakat tetapi lebih dari itu kaum intelektual menjadi magnet atas nilai-nilai kebenaran—yakni menerangi jalan pengetahuan manusia yang inovatif, adaptif dan kritis, dan menuntun jalan kekuasaan pada khittah yang benar, sebagai konsekuensi logis (ia) manusia sebagai individu menjalankan kodratnya sebagai manusia yang berfikir dan berakal, dan (ia) sebagai negara atau kekuasaan menjalankan konstitusi negara sebagai mandatoris dari rakyat. Dan itulah posisi di antara keduanya.
Dan negara demokrasi harus menghimpun semua relasi-relasi itu; relasi kuasa dan pengetahuan, relasi negara dengan kaum intelektual, dan begitu pula relasi-relasi sosial lainnya, dan negara tidak harus mengambil posisi berbeda dari relasi-relasi tersebut.
Matinya Kepakaran (The Death of Expertise)
Julian Benda dan Bourdieu tentu berbeda dengan karya Tom Nichols dengan “Matinya Kepakaran” yang merupakan peringatan tentang erosi otoritas para ahli dan pengetahuan mapan di era informasi, di mana masyarakat awam, didorong oleh bias konfirmasi dan mudahnya akses ke misinformasi di internet/media sosial, menolak keahlian profesional, merasa pendapat mereka sama berharganya, dan bahkan "memperjuangkan" informasi yang salah, sehingga membahayakan kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalah kompleks dan membuat keputusan yang tepat atas dirinya sendiri.
Nichols mengamati fenomena di mana pendapat ahli (dokter, insinyur, ilmuwan, pakar hukum) semakin ditolak atau dipertanyakan, digantikan oleh opini awam yang sering kali tidak berdasar dan dalil yang kuat.
Internet dan media sosial memfasilitasi penyebaran informasi tanpa filter, memungkinkan siapa saja menyebarkan opini tanpa harus bertanggung jawab pada fakta, membuat suara pakar tenggelam. Akses informasi yang melimpah justru menciptakan ilusi bahwa semua orang serba tahu (Dunning-Kruger effect), di mana orang yang kurang kompeten justru melebih-lebihkan kemampuannya sendiri.
Demokrasi yang sehat membutuhkan warga negara yang terinformasi. Penolakan terhadap kepakaran akan menyulitkan penanganan masalah serius dan membuat kebijakan publik rentan terhadap populisme dan misinformasi, seperti yang terjadi di AS dan relevan di Indonesia. ini bahaya bagi Demokrasi
Risalah dari Nichols ini bukan tentang membela para pakar, tetapi memberi peringatan bahaya jika kita membiarkan otoritas keahlian musnah, yang bisa berakibat fatal bagi masyarakat. Dan ini adalah kritik tajam terhadap budaya "anti-otoritas" dan "semua orang tahu segalanya" yang berbahaya, yang membuat kita semakin jauh dari kebenaran faktual. Dengan ter-koptasinya kaum intelektual di ruang agency politik dan kekuasaan, dan matinya kepakaran—akhirnya apa yang bisa diharapkan dari tuntutan perubahan, kecuali kecemasan, apriori, skeptisme dan ketakutan.
Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Analis Sosial Politik dan Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Peran Intelektual & Matinya Kepakaran
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:

Tidak ada komentar