Breaking News

Menjawab Paradoks Menepis Fiksi


Tentu ini tidak mudah bagi Prabowo Subianto untuk melakukan dua hal yang sepertinya berada di “Batas jalan”, yakni antara menjawab paradoks dan menepis fiksi---Paradoks Indonesia (yang ditulis dalam bukunya), dan Fiksi yang disadur dalam Novel Ghost Fleet dari W.R Singer prediksi Indonesia bubar tahun 2030 (yang diucapkannya). Dua sisi ini menjadikan Prabowo semakin memikul beban berat terhadap kondisi negara yang mengalami hempasan bertubi-tubi. Seperti “Rumah Hantu” yang selama ini angker, seram, dan menakutkan, sehingga tidak ada seorang pun yang mampu memasukinya. Ternyata rumah hantu itu bukan dipenuhi ilalang, sarang laba-laba, tetapi rumah hantu itu dipenuhi “perilaku korupsi yang akan menghancurkan negara”. 

“Cerita Rumah Hantu” yang angker itu, ternyata tidak benar-benar angker sebagaimana lazimnya. Seperti “The Gengster of Amerika” yang berkumpul di satu gedung yang kotor, kumuh, berantakan, kotor, dengan botol minuman yang berserakan, Frank Lucas dengan Richie Roberts seorang detektif jujur yang bertugas menghabisi kerajaan narkoba. Ruah hantu yang dihuni oleh para gembong mafia dan bandar narkoba yang mengancam kota Amerika. Sebuah kondisi paradoks yang menghantui generasi Amerika bila perdagangan narkoba terus-menerus terjadi. 

Demikian pula rumah hantu dalam pikiran paradoks Prabowo Subianto sebagaimana buku yang dituliskannya. Indonesia terlihat baik-baik saja, makmur, sejahtera, tetapi di sisi yang lain Prabowo memabaca hal yang berbeda dari realita yang sesungguhnya. Kekhawatiran itu muncul dengan berbagai perspektif terkait sumber-sumber daya alam yang dieksploutasi secara besar-besaran demi kepentingan oligarki dan kelompok tertentu, korupsi yang hampir menjadi endemi kekuasaan, tetapi rakyat makin menderita dan miskin. Dan ini tantangan bagi Prabowo untuk mengurai problematik sosial di masyarakat sejak 10 tahun terakhir ini. Sebab apa yang terjadi selama ini bukanlah fiksi dan bukan juga sesuatu yang paradoks. Fiksi yang tertuang dalam Ghost Fleet dan pikiran ‘Paradoks Indonesia” adalah satu sikap oposisi politik Prabowo ketika saat itu ia masih berada di luar jantung kekuasaan setelah kekalahan di dua pertarungan pemilihan presiden di tahun 2014 dan di 2019, sehingga posisi ini membawa Prabowo pada posisi yang sangat kritis pada pemerintahan Jokowi saat itu. Walau pada akhirnya pasca pilpres tahun 2019 Prabowo justru masuk di lingkaran kekuasaan dengan jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Publik pun memberi respon dua arah; (1) Pendukung Prabowo di Pilpres 2014 dan 2019 tentu sedikit kecewa dengan masuknya Prabowo di lingkaran kekuasaan Jokowi. (2) Akankah Prabowo masih kritis, sama seperti ketika ia berada di luar kekuasaan?

Dengan masuknya Prabowo di lingkaran kekuasaan Jokowi dianggap sebagai cara untuk mengubur istilah “kadrun dan kampret”. Ini tentu hal yang baik demi menyatukan kembali keberpihakan politik rakyat yang sempat terbelah secara ekstrim. 

Prabowo menjawab keniscayaan

Sebagai patriotisme (Mantan Prajurit) doktrin militer yang demikian kuat tentu menjadi karakter Prabowo Subianto. Terlihat dari sikap tegas, berapi-api, begitu pula nampak dari setiap pernyataan-pernyataan tentang kapitalisme asing di balik carut-marutnya negara ini. Sematan sebagai Macan Asia untuk Prabowo menjadi bargaining power baik politik dalam negeri maupun di luar negeri. 

Sekali lagi, setelah masuknya Prabowo di lingkar kekuasaan Jokowi pada periode kedua publik memberi harapan dengan satu catatan kalau Prabowo akan memperbaiki sistem dari dalam kekuasaan. Walau di tengah perjalanan ada semacam “politik sandera” yang menghimpit jalan Prabowo. (Mungkin) ini adalah kilas balik atas sikap dan pernyataan-pernyataan Prabowo selama ini yang demikian kritis terhadap pemerintah. 

Akhirnya Pilpres 2024 memberi mandat kepada kemenangan Prabowo Subianto menjadi Presiden RI ke 8. Ini tidak mudah bagi Prabowo. Kemenangan di Pilpres merupakan hal yang mudah bagi Prabowo dengan koalisi besar dengan dukungan partai politik yang cukup banyak, tetapi yang tidak mudah adalah bagaimana peran Prabowo Subianto setelah menjadi presiden---untuk menjawab dua hal yang pernah diucapkan di waktu yang lalu dengan nada kritik yang tajam. 

Sehingga sadar atau tidak, Prabowo harus menjawab keniscayaan yang ada saat ini. Kalau Indonesia yang tidak baik-baik saja. Fenomena “Darurat Indonesia” serta pengibaran bendera Green Peace tentu mengundang rasa was-was bagi pemerintahan Prabowo. Hal ini tentu disebabkan berbagai situasi yang ada; seperti disahkannya undang-undang TNI yang menegasikan beberapa posisi TNI di jabatan sipil, terkuaknya tunjangan anggota DPR yang sangat fantastis di tengah ekonomi rakyat yang semakin sulit, munculnya perilaku anggota DPR yang joget-joget di dalam gedung DPR di mana publik menganggap sbagai bentuk ejekan kepada rakyat, korupsi yang menggila, hutang yang menumpuk, kerusakan lingkungan akibat pembalakan liar dan ekploitasi besar-besaran di sektor pertambangan (Ilegal loging dan ilegal mining) yang hanya menguntungkan pihak oligarki dan kelompok tertentu. Belum lagi judol yang meresahkan masyarakat, pelanggaran hukum oleh penegak hukum hampir terjadi setiap saat. Semua ini tentu sangat mengganggu posisi Prabowo sebagai presiden antara melanjutkan tradisi masa lalu (rezim Jokowi) atau berani mengmbil sikap politik tanpa tedeng aling-aling di dalam upaya memberantas praktek korupsi termasuk mafia berdasi di lingkaran pemerintahan Kabinet Merah Putih. 

Ini adalah keniscayaan, terbukti tanggal 22 Agustus 2025---katarsis publik (kemuakan atau kemarahan publik) meledak di hampir semua daerah-daerah di Indonesia. Gugurnya Affan Kurniawan yang dilindas mobil aparat saat demo di depan Gedung DPR RI semakin membangun konsolidasi publik, sehingga kemarahan semakin membesar yang menyebabkan pembakaran beberapa kantor polisi (Brimob) di ibukota DKI Jakarta, penjarahan di beberapa rumah anggota DPR RI (Ahmad Sahroni, Nafa Urbach keduanya politisi Nasdem), Uya Kuya, Eko Patrio (Keduanya politisi PAN), bahkan di kediaman Menkeu Sri Mulyani pun dijarah massa. Aksi solidaritas ini juga pada akhirnya menyulut kemarahan publik di beberapa kota-kota besar di Indonesia; Bandung, Jawa Tengah, Surabaya, Jawa Barat dan Makassar dengan pembakaran gedung DPRD kota dan Propinsi. 

Respon Presiden Prabowo terhadap kerusuhan dan penjarahan, tentu sangat prihatin sekaligus berbela sungkawa atas orang-orang yang meninggal dunia dalam aksi agustus tersebut. Prabowo terlihat begitu sigap dan sangat humanis, saat beliau berkunjung ke kediaman Affan Kurniawan, sikap tersebut sedikit dapat menurunkan frekuensi kemarahan publik, bahkan Prabowo dalam satu jumpa persnya ia katakan; “ini pelajaran sangat berharga bagi kita sebagai bangsa. Karena itu, sebagai representasi politik rakyat di pemerintahan maupun di parlemen (DPR) haruslah selalu menjaga sikap dan cara kita bertutur dengan baik, agar rakyat tidak dilukai dengan perilaku dan ucapan kita’.

“Paradoks Indonesia” bagi Prabowo—seperti otokritik. Ibarat kekhawatiran yang harus dijawab dengan mempertimbangkan fakta, realitas yang dialami oleh Prabowo saat-saat ini. Beban politik dari rezim sebelumnya menjadikan Prabowo seperti seorang petinju yang hanya bisa “dipukul dan menangkis” tanpa harus memukul balik lawan tandingnya. Kenapa? sebab apa yang dikhawatirkannya di masa lalu, justeru terjadi di era di mana ia tampil sebagai seorang presdien, dan dituntut untuk menyelesaikannya. 

Macan Asia harus mengaung, tidak mengembek.
Ini metaforik, tetapi mengandung pesan yang sangat mendalam. Sematan “Macan Asia” bagi Prabowo tidaklah mudah, menjadi raja hutan itu adalah kehormatan tertinggi bagi macan atau harimau—bermakna kepemimpinan yang tegas, kuat, dan dapat memberi pengaruh besar terhadap apa yang dipimpinnya. Artinya, Prabowo bukan sekedar tokoh nasional di panggung politik Indonesia, tetapi Prabowo juga harus menjadi king maker bagi kepemimpinan di Asia, agar dapat mengirim pesan ke dunia internasional---bahwa Indonesia adalah negara besar, memiliki sejarah yang panjang, serta memiliki berbagai sumber daya alam yang mampu menyokong struktur pertumbuhan ekonomi dunia. 

Karena itu, Prabowo tidak boleh terjebak pada beberapa hal; (1) Politik sandera atau politik balas budi. (2) Prabowo dituntut untuk melepaskan bayang-bayang politik rezim sebelumnya. (3) Prabowo diharapkan untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. (4) Sedapat mungkin mempraktekkan model pemerintahan “Separation of Power”  yang selama ini yang ada adalah “Distribution of Power”, dan Prabowo harus menyudahi praktek politik kolegial. 

Politik metaforik ala Prabowo—masih sering kali dijumpai di beberapa momentum; seperti saat ditanya oleh wartawan atau cuitan netizen terkait pertemuan Prabowo dengan Jokowi—bagi sebagian netizen maupun publik menilai kalau Prabowo masih dikendalikan oleh Jokowi (Kertanegara dikendalikan oleh Solo). tetapi Prabowo menepis isu ersebut dengan lantang ia katakan kalau ia tidak dikendalikan oleh siapa pun. Namun di momentum yang lain tepatnya di Hari Ulang Tahun Gerindra, Prabowo dengan lugas mengucapkan rasa terima kasih kepada Jokowi, ia menganggap bahwa kemenangan di Pilpres kemarin adalah karena bantuan dan peran Jokowi. bahkan yang lebih menghentakkan publik munculnya ucapan yang begitu lantang di atas fodium; Hidup Jokowi, Hidup Jokowi, Hidup Jokowi. Ucapan Prabowo ini akhirnya mengundang berbagai perspektif di berbagai kalangan akademisi, pengamat, serta netizen dengan kalimat “ternyata ia tersandera, jadi janpgan berharap banyak adanya perubahan” sikap sinisme, apatisme kepada presiden Prabowo semakin meluas. 

Tetapi menariknya, di kesempatan yang lain justeru Presiden Prabowo memperlihatkan sikap yang berbeda dari apa yang dipersepsikan publik. Seperti pemberian abolisi kepada Tom Lemvong dan Hasto (seken PDIP), yang sebagian publik menganggap bahwa Prabowo mulai melawan pengaruh “Geng Solo”. Karena apa yang dialami oleh Tom Lembong dan Hasto adalah bentuk kriminalisasi hukum oleh Jokowi. 

Karena itu, kekuatan politik Prabowo dengan dukungan KIM (Koalisi Indonesia Maju) setidaknya mampu mengurai sekaligus menjawab paradoks-paradoks dan ilusi Indonesia bubar di tahun 2030. Sebab kalau Prabowo tidak mampu menjawab sekaligus menyelesaikan problematika bangsa (pikiran paradoks) dan ilusi (Fiksi) Indonesia bubar 2030 dan itu terbukti terjadi, maka Prabowo bukan hanya kehilangan legacy dan legitimasi, tetapi juga akan dikubur oleh sejarah bangsa ini. 

Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Dosen, Peneliti, Penulis Buku, Kritikus Sosial Politik, Penggiat Demokrasi
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Menjawab Paradoks Menepis Fiksi Menjawab Paradoks Menepis Fiksi Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar