Breaking News

PPJNA 98: Indonesia Menuju Negara Otoriter di Bawah Rezim Prabowo


Ketua Umum PPJNA 98, Anto Kusumayuda, melontarkan kritik keras terhadap arah perjalanan demokrasi Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, tanda-tanda kemunduran demokrasi semakin nyata dan mengkhawatirkan, terutama setelah disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru oleh DPR RI dan maraknya penangkapan aktivis di berbagai daerah.

Anto menegaskan bahwa kondisi ini bukan lagi sekadar sinyal bahaya, tetapi telah berkembang menjadi kecenderungan nyata menuju otoritarianisme. “Indonesia sedang bergerak cepat menjadi negara otoriter di bawah rezim Prabowo,” ujar Anto dalam keterangannya, Rabu (19/11/2025).

“KUHAP yang baru disahkan DPR sangat berbahaya bagi demokrasi karena memberi ruang lebih besar bagi aparat untuk melakukan kriminalisasi dengan dalih penegakan hukum.”

Beberapa poin dalam KUHAP yang baru disahkan dianggap PPJNA 98 sebagai ancaman serius terhadap hak-hak sipil. Anto menilai aturan baru tersebut memberikan kewenangan luas bagi aparat penegak hukum untuk menahan, menggeledah, dan menyadap warga negara tanpa mekanisme kontrol yang memadai.

Menurutnya, revisi KUHAP yang seharusnya memperkuat supremasi hukum justru membuka jalan bagi penyalahgunaan kekuasaan. “RUU KUHAP ini tidak hanya melemahkan kontrol publik, tetapi juga mengaburkan batas antara kepentingan politik dan penegakan hukum,” kata Anto. Ia menyebut, penataan ulang kewenangan penyidik dan proses penyidikan berpotensi dimanfaatkan untuk membungkam oposisi maupun kritik masyarakat.

Pengamat hukum dan aktivis pro-demokrasi, lanjut Anto, juga telah menyampaikan kekhawatirannya. Namun kritik tersebut seolah tak digubris oleh legislator maupun pemerintah. “Proses legislasi berlangsung sangat cepat dan minim partisipasi publik. Ini mengingatkan kita pada pola-pola pemerintahan represif yang tumbuh dari kelemahan institusi demokrasi,” ujarnya.

Selain isu KUHAP baru, Anto juga menyoroti maraknya penangkapan aktivis di berbagai daerah. Ia menyebut secara khusus kasus yang menimpa aktivis Delpedro Marhaen dan rekan-rekannya, yang menurut PPJNA 98 merupakan bukti nyata dari operasi pembungkaman terhadap gerakan masyarakat sipil.

“Banyak aktivis ditangkap dan dipenjarakan hanya karena menyuarakan kritik. Ini bentuk pembukaman yang sistematis,” kata Anto. Ia menambahkan, tindakan represif aparat akhir-akhir ini bukan hanya menyasar aktivis politik, tetapi juga kelompok masyarakat yang memperjuangkan hak-hak buruh, lingkungan hidup, dan anti-korupsi.

Menurutnya, pola penangkapan yang terjadi mengikuti pola yang sama: kriminalisasi, penyidikan cepat, dan pengabaian hak-hak tersangka. “Kebebasan berekspresi dan berkumpul semakin tergerus. Negara tidak lagi melihat kritik sebagai bagian dari demokrasi, melainkan ancaman,” tegasnya.

Dalam pernyataannya, Anto Kusumayuda juga menyerukan konsolidasi bagi para aktivis angkatan 98 untuk kembali mengawal demokrasi seperti era reformasi. Ia menyebut bahwa keberhasilan gerakan 98 menumbangkan rezim otoriter waktu itu tidak boleh dikhianati oleh kemunduran demokrasi hari ini.

“Kami, generasi 98, pernah mengorbankan banyak hal untuk membangun demokrasi. Kini demokrasi itu sedang dihancurkan atas nama stabilitas dan keamanan. Kita tidak boleh diam,” ujarnya.

Anto menegaskan bahwa PPJNA 98 akan terus melakukan pemantauan, menggalang opini publik, serta membangun jejaring untuk menolak berbagai kebijakan yang dianggap membahayakan kebebasan sipil. “Ini bukan tentang oposisi atau pro-pemerintah. Ini tentang demokrasi. Negara tidak boleh dibiarkan berjalan menuju otoritarianisme,” katanya.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil sebelumnya juga menyuarakan kritik serupa. Mereka menilai bahwa dalam beberapa bulan terakhir ruang kebebasan sipil di Indonesia mengalami penyempitan. Lembaga pemantau seperti KontraS, LBH, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat meningkatnya kekerasan terhadap aktivis, intimidasi terhadap jurnalis, dan kriminalisasi atas kritik di media sosial.

Beberapa akademisi memandang tren ini sebagai “kemunduran demokrasi paling signifikan sejak reformasi 1998”. Mereka menilai pemerintah semakin bergantung pada pendekatan keamanan dibanding dialog dalam menghadapi kritik publik.

Dalam situasi politik yang makin panas jelang tahun-tahun menuju Pemilu 2029, kekhawatiran bahwa Indonesia akan memasuki babak pemerintahan yang lebih otoriter semakin menguat. Dengan kekuasaan politik besar yang kini terpusat pada eksekutif, revisi regulasi, dan meningkatnya tekanan terhadap aktivis, sejumlah pihak menilai demokrasi Indonesia sedang berada pada persimpangan.

Anto menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa demokrasi tidak hancur dalam satu malam, tetapi runtuh sedikit demi sedikit ketika warga negara memilih diam. “Rezim boleh berganti, tetapi prinsip demokrasi harus tetap kokoh. Kalau kita tidak bersuara hari ini, besok mungkin sudah terlambat.”

PPJNA 98: Indonesia Menuju Negara Otoriter di Bawah Rezim Prabowo PPJNA 98: Indonesia Menuju Negara Otoriter di Bawah Rezim Prabowo Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar