Breaking News

Inkonsistensi Polisi di Kasus Vina Cirebon Bikin Publik Ragu, Pegi Diprediksi Antiklimkas


Mengenakan kaus biru bertuliskan Dit Tahti atau Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti, Pegi Setiawan alias Perong dihadirkan dalam konferensi pers terkait kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan kekasihnya Muhammad Risky Rudiana alias Eki di Polda Jawa Barat, pada Minggu 26 Mei 2024.

Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Jules Abraham Abast bersama Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Surawan menyampaikan kronologi penangkapan hingga peranan Pegi dalam kasus pembunuhan Vina dan Eki. Pegi dalam kondisi diborgol tampak berupaya mengangkat tangan kanannya memberi isyarat ke arah awak media. 

"Izin bicara.. izin bicara," ucapnya. 

Dua polisi yang berdiri di sisi kanan dan kirinya sempat berupaya menutup mulut Pegi. 

"Hak tersangka nanti di sidang pengadilan," ujar Jules. 

Pegi terus berbicara. Dia juga sempat menjelaskan alasannya menggunakan nama Robi Irawan selama bekerja sebagai kuli bangunan di Bandung, Jawa Barat kepada awak media. 

"Itu (Robi) nama panggilan saya," katanya. "Saya tidak pernah melakukan pembunuhan itu, ini fitnah. Saya rela mati, saya rela mati."  

Otak Pembunuhan

Selama delapan tahun berstatus buronan atau DPO, Pegi disebut bekerja sebagai kuli bangunan bersama bapaknya di Bandung. Penangkapan Pegi dilakukan ketika ia pulang kerja sebagai kuli bangunan di kawasan Kopo, Bandung, Jawa Barat, pada Selasa (21/5) sekitar pukul 18.23 WIB. 

Pegi dikatakan sebagai otak pembunuhan Vina dan Eki. Berdasar keterangan salah satu pelaku yang telah berstatus terpidana, Surawan menyebut Pegi juga merupakan sosok yang pertama kali menyetubuhi Vina. Kemudian diikuti tujuh pelaku lainnya, yakni Rivaldi Aditya Wardana, Hadi Saputra, Eko Ramadani, Eka Sandy, Jaya alias Kliwon, Supriyanto, Sudirman. Sementara satu pelaku lainnya Saka Tatal yang telah bebas bersyarat sejak April 2020 tidak ikut menyetubuhi. 

"Jadi semua tersangka jumlahnya sembilan, bukan 11. Delapan melakukan persetubuhan yang satu tidak," kata Surawan. 

Keterangan ini berbeda dengan peran Pegi yang dijelaskan dalam dakwaan di salinan berkas surat Direktori Putusan Mahkamah Agung RI No 1035K/PID/2017. Dalam berkas tersebut Pegi hanya disebut mencium dan memegang payudara Vina usai dianiaya bersama-sama di belakang bangunan showroom mobil di Jalan Perjuangan Majasem, yang besebrangan dengan SMPN 11, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon.

Selain itu jumlah pelaku juga berbeda. Di mana dalam salinan berkas putusan dijelaskan ada dua DPO lainnya atas nama Andi dan Dani.

Kedua DPO tersebut belakangan diakui para pelaku yang telah berstatus terpidana merupakan fiktif. Namun Surawan mengklaim apabila dalam perkembangannya nanti kembali muncul tersangka baru, pihaknya akan tetap melakukan pemeriksaan. 

"Tetapi sejauh ini fakta di dalam penyelidikan kami, tersangka atau DPO adalah 1 (Pegi)," kata dia.

Di tengah adanya keraguan terhadap sosok Pegi sebagai pelaku sebenarnya, Surawan menekankan pihaknya bekerja berdasar barang bukti dan tak sekadar mengejar pengakuan Pegi. Surawan mengakui selama delapan tahun mengalami kesulitan menangkap Pegi karena belum ada saksi-saksi dan tersangka yang berani mengungkap.

"Akhirnya kami ajak bicara para tersangka yang sudah vonis dari hati ke hati mereka menerangkan bahwa PS adalah ini orangnya," katanya. 

Surawan juga mengklaim turut mengantongi bukti-bukti lain yang menjadi dasar penangkapan Pegi. "Kami meyakinkan ini dengan sejumlah dokumen, baik KK (kartu keluarga), kemudian ijazah dan sebagainya. Kami yakinkan bahwa ini adalah PS alias Pegi Setiawan."

Pegi melalui kuasa hukumnya Sugiyanti Iriani telah menyiapkan langkah untuk menggugat Polda Jawa Barat atas proses penetapan tersangka terhadapnya. Dia juga mengapresiasi keberanian Pegi mengatakan dirinya bukanlah pelaku.

Sugiyanti mengatakan Pegi tidak ada di Cirebon saat peristiwa pembunuhan ini terjadi pada 27 Agustus 2016 lalu. Sebab ketika itu Pegi menurut pengakuannya berada di Bandung bekerja sebagai kuli bangunan. 

"Kami akan melakukan praperadilan karena penangkapan dan penetapan tersangka terhadap klien kami tidak sah," tutur Sugiyanti. 

Langkah hukum lebih lanjut berupa pengajuan Peninjauan Kembali atau PK ke Mahkamah Agung (MA) juga akan dilakukan mantan terpidana Saka Tatal yang belakangan mengaku sebagai korban salah tangkap. Dia juga mengklaim ketika itu terpaksa mengakui perbuatan yang tidak pernah dilakukannya karena tak tahan mendapat penyiksaan dari polisi.

"Insyaallah (akan mengajukan PK) karena Saka ingin dipulihkan nama baiknya. Tidak ingin ada cap narapidana pembunuh seumur hidupnya," kata kuasa hukum Saka, Titin Prilianti.

Penegakan Hukum Sesat?

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri mendorong dilakukannya eksaminasi untuk mendalami dugaan terjadinya miscarriage of justice atau penegakan hukum yang sesat. Dia juga berharap proses persidangan Pegi nantinya dapat digelar secara terbuka, tidak tertutup sebagaimana yang diduga terjadi dalam proses persidangan tujuh terpidana sebelumnya. 

"Segala kerja kepolisian akan diuji di situ,” jelas Reza.

Di samping itu dalam persidangan Pegi, Reza berharap nantinya akan ditemukan bukti-bukti baru. Di mana bukti-bukti tersebut dapat dijadikan dasar bagi para terpidana untuk mengajukan PK. 

"Kasus Sengkon dan Karta menunjukkan bahwa proses hukum yang sudah inkrah sekalipun ternyata bisa ada kekhilafan di dalamnya," ungkapnya.

Senada dengan Reza, pengamat kepolisian dari  Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai keraguan dan pertanyaan yang timbul di masyarakat apakah Pegi sebagai pelaku sebenarnya, tak lepas dari indikasi-indikasi kesalahan polisi dalam penanganan perkara ini. Belum lagi adanya inkonsistensi dari pernyataan-pernyataan kepolisian, salah satunya terkait jumlah DPO.

"Keraguan dari masyarakat terkait apakah benar Pegi ini adalah pelakunya itu harus dijawab kepolisian secara objekif ilmiah dan bertanggung jawab," ujar Bambang. 

Robohnya konstruksi kasus ini, lanjut Bambang, juga tidak terlepas dari dugaan proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan pihak kepolisian secara tidak ilmiah. Di mana pihak kepolisian diduga hanya menitikberatkan pembuktian dari keterangan para tersangka atau terpidana sebelumnya. 

Padahal kepolisian modern menurutnya mengutamakan bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah bukan hanya sekadar kesaksian. 

"Kesaksian bahkan terkadang juga diabaikan dan hanya sekadar alat bukti permulaan yang kemudian harus dikembangkan lagi dalam penyelidikan dan mencari bukti-bukti yang lain," jelasnya. 

Karena tidak adanya konsistensi terkait pembuktian secara ilmiah dan objekif tersebut, Bambang meduga perkara Pegi ini akan antiklimkas pada akhirnya. Sekalipun prosesnya nanti dipaksakan hingga ke pengadilan. 

"Maupun sampai ke pengadilan nanti akan antiklimkas. Karena bukti-bukti yang kuat itu tidak ada terkait petersangkaan Pegi ini. Antiklimkasnya bisa saja Pegi ini bebas demi hukum," pungkasnya. 

Sumber: suara
Foto: Pegi Setiawan alias Perong/Net
Inkonsistensi Polisi di Kasus Vina Cirebon Bikin Publik Ragu, Pegi Diprediksi Antiklimkas Inkonsistensi Polisi di Kasus Vina Cirebon Bikin Publik Ragu, Pegi Diprediksi Antiklimkas Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar