Breaking News

Profesor Kehormatan Harus Fokus Sebagai Profesor, Bukan Sebagai Sambilan


Anggota Dewan Professor sekaligus Guru Besar Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Tasrief Surungan menilai ada yang keliru dari usulan pemberian gelar profesor kehormatan untuk Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 38 Tahun 2021 Tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi, yang dimaksud dengan profesor kehormatan adalah jenjang jabatan akademik profesor pada perguruan tinggi yang diberikan sebagai penghargaan kepada setiap orang dari kalangan nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa.

Menurut Prof Tasrief, peraturan tersebut menjadi dasar bagi pengangkatan profesor kehormatan. Jika dicermati, sesungguhnya memuat kewajiban yang cukup sulit dipenuhi bagi seseorang yang mengemban amanah jabatan publik cukup tinggi setingkat menteri.

“Kenapa? Karena berdasarkan pasal 9 dari peraturan tersebut, jika yang bersangkutan tidak melaksanakan tridarma perguruan tinggi maka profesor kehormatan bisa dicabut,” jelasnya kepada fajar.co.id, Rabu (9/3/2022).

Ini artinya, lanjut Prof Tasrief, seorang yang diangkat menjadi profesor kehormatan adalah seseorang yang memang ingin fokus sebagai profesor, bukan professor sebagai sambilan.

“Artinya, menerima jabatan profesor di suatu lembaga pendidikan tinggi, berarti berkomitmen melaksanakan tugas Tridarma. Pada gilirannya, ketua prodi akan menjadwalkan tugas mengajar untuknya. Mahasiswa akan menanyai sang professor tentang topik-topik tugas akhir, dan lain-lain. Sekali lagi, itu konsekuensi bahwa professor kehormatan bukan gelar tapi jabatan,” paparnya.

Hal lain yang perlu dicermati, jelas Tasrief lagi, oleh karena pengangkatan itu berkonsekuensi bekerja (keras), maka seseorang yang mengemban amanah dalam jabatan negara setingkat menteri, jika masih mengharap diangkat untuk menduduki jabatan fungsional sebagai professor, berarti tugas-tugas di kementerian tidak cukup menyibukannya. Sehingga masih punya waktu untuk diluangkan di perguruan tinggi.

“Ini sesuatu yang absurd,” ucapnya.

Di sisi lain, seorang menteri yang memasukkan berkas untuk diangkat menjadi profesor di suatu perguruan tinggi, selayaknya harus meminta izin atasannya dalam hal ini Presiden.

“Kenapa? Karena professor itu jabatan,” cetusnya lagi.

“Presepsi keliru apakah profesor kehormatan adalah gelar atau jabatan yang perlu diluruskan, sehingga ada kesadaran baik yang akan memberikan jabatan tersebut maupun yang akan menerimanya,” pungkasnya.

Sebelumnya ramai diberitakan, Senat Akademik (SA) Universitas Hasanuddin menolak usulan pemberian gelar profesor untuk Syahrul Yasin Limpo.

Penolakan pemberian profesor kehormatan terhadap SYL itu tertuang dalam surat yang ditandatangani Sekretaris Senat Akademik, Prof Dr Ir Abdul Latief Toleng, MSc untuk ditujukan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.

Sementara pihak yang mengusulkan yakni rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dwia Aries Tina Pulubuhu menyebut bukan ranah senat akademik untuk mengeluarkan surat penolakan maupun persetujuan pengangkatan guru besar.

Melainkan kata dia, senat hanya memberi pertimbangan kepada rektor. Pemberian gelar profesor kehormatan hanya dilakukan oleh pimpinan tertinggi universitas, yaitu rektor.

Prof. Dwia Aries pun menegaskan, SYL sudah sangat layak diberi gelar profesor kehormatan dari Unhas. Mengingat kontribusinya sudah sangat banyak untuk masyarakat. 

Sumber: fajar
Foto: Guru Besar Fisika Teoretik FMIPA Universitas Hasanuddin, Prof. Tasrief Surungan
Profesor Kehormatan Harus Fokus Sebagai Profesor, Bukan Sebagai Sambilan Profesor Kehormatan Harus Fokus Sebagai Profesor, Bukan Sebagai Sambilan Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar