Breaking News

Seru! Sindiran-sindiran Yusril, Mahfud, dan Jimly


Kali ini RIBET (review berita) akan semakin ribet lantaran akan mereview berita "kata begawan hukum" terkait dengan kesanggupan Yusril mendampingi pengajuan JR AD ART Partai Demokrat.

Saya sependapat dengan Yusril bahwa perlu terobosan baru untuk mendedah kejumudan AD ART Parpol yang selama ini tidak tersentuh oleh "tangan lain" atau "tangan internal".

Padahal parpol adalah lembaga publik di negara demokrasi yang seharusnya juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang otomatis harua sesuai dengan hukum perundang-undangan yang didasari oleh nilai keadilan dan kebenaran.

Saya katakan, langkah Yusril adalah langkah PROGRESIF karena telah berani melakukan RULE BREAKING ataupun BREAKTHROUGH agar AD ART PARPOL di negara demokrasi tidak MONOPOLISTIK, FEODALISTIK DAN NEPOTIS, apalagi OLIGARKIS.

Mari kita coba simak Sindiran-sindirun para negawan hukum terkait Yusril sebagai Advokat yang mendampingi 4 eks kader PD yang mengajukan JR AD ART nya.

Suara.com - 30 September 2019 Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai langkah advokat Yusril IhzMahendra mendampingi Demokrat kubu KLB Deli Serdang Moeldoko untuk melakukan uji materi/ judicial review soal AD/ART Demokrat Tahun 2020 ke Mahkamah Agung (MA) akan sia-sia. Meskipun nantinya menang, Mahfud menilai hasil tersebut tidak bakal bisa menggulingkan Demokrat di bawah pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Mahfud mengatakan apabila uji materi yang dilakukan Yusril itu menang menurut hukum, maka akan berlaku ke depannya, bukan untuk pengurus yang saat ini masih aktif. Seandainya ada pengaruh, itu juga hanya sekedar perubahan dalam AD/ART saja.

GALAMEDIA - 1 Oktober 2021 menyebutkan bahwa Kemunculan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menjadi kuasa hukum eks kader Partai Demokrat untuk mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Agung (MA) terhadap AD-ART Partai Demokrat terus menuai sorotan.

Belum lama ini, tanggapan terhadap langkah Yusril Ihza Mahendra juga datang dari eks Ketua MK Jimly Ashiddiqie. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa partai politik memang merupakan saluran utama kedaulatan rakyat seperti diatur dalam UUD.

"Prpol pilar utama& saluran daulat rakyat & bhkan disbut tgas dlm UUD sbg psrta pmilu & usung capres," "Statusnya jg lmbaga publik (negara) dlm arti luas yg pnya aturan intern AD sbg plksana UU. Mski tdk disbut PrUUan, ptsn JR bs jd inovasi baru. Kalo kabul, JR AD prpol lain jg bs," kata Jimly melalui Twitter-nya Jumat, 1 Oktober 2021.

Dia melanjutkan bahwa tegaknya hukum juga perlu dibarengi dengan tegaknya etika bernegara.

"Tp prlu diingat jg tgaknya hkm& keadilan hrs seiring dg tgaknya etika brnegara," jelasnya.

Meskipun kata dia, UU tidak secara eksplisit mengatur bahwa advokat tidak boleh menjadi ketua umum Parpol, namun secara etika kepantasan hal itu sulit diterima.

Kemudian jpnn.com, JAKARTA -2 Oktober 2021 Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menyindir balik anggota DPD RI Prof Jimly Asshiddiqie. Pria yang juga menjabat Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini menggunakan kalimat sama yang sebelumnya digunakan Prof Jimly.

"Pertanyaan yang sama bisa saja dikemukakan, apa pantas seorang anggota badan legslatif mengomentari sebuah perkara yang sedang diperiksa badan yudikatif?" sindir Yusril dalam keterangannya, Sabtu (2/10).

Prof Jimly sebelumnya menyoroti posisi seorang advokat menjadi ketua umum partai politik. Menurutnya, secara etika kepantasan dan etika bernegara hal itu sulit diterima, apalagi kemudian mempersoalkan AD/ART partai politik lain.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu memang tidak menyebut nama Yusril dalam kicauannya di media sosial Twitter.

Yusril juga mempertanyakan apa pantas Mahkamah Konstitusi (MK) menguji UU MK, di mana lembaga tersebut punya kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dengan undang-undang dimaksud.

"Prof Jimly (saat menjabat Ketua MK) beberapa kali menguji undang-undang yang justru MK dan hakim MK berkepentingan dengan UU yang diuji itu. Prof Jimly akan menjawab tidak ada undang-undang yang melarang MK menguji UU MK."

Dalam pandangannya Yusril juga memaparkan bahwa dalam filsafat, norma etik adalah norma fundamental yang melandasi norma-norma lain termasuk norma hukum.

Sehingga norma hukum yang bertentangan dengan norma etik seharusnya dianggap sebagai norma yang tidak berlaku.

"Nah, yang dibicarakan Prof Jimly adalah etika kepantasan, soal pantas atau tidak pantas, yang secara filosofis bukan norma fundamental seperti dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan-tulisan Al Ghazali," katanya.

Menurut Yusril, norma etika kepantasan yang disebut-sebut Prof Jimly tidak lebih dari norma sopan santun yang bersifat relatif dan sama sekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etik.

Yusril kemudian mencontohkan ketika ada orang Batak bertamu ke rumah orang Sunda dan dia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan tuan rumah.

Menurut Yusril, gaya, tata cara dan bersalaman tamu orang Batak itu mungkin tidak sesuai dengan etika kepantasan orang Sunda. Namun, tamu orang Batak itu bukan orang jahat. Lain halnya jika tamu itu pulang, sendok garpu tuan rumah dikantongi diam-diam.

"Pencurian adalah pelanggaran norma etika (seperti disebut dalam Ten Commandements dan Mo Limo dalam falsafah Jawa)."

"Soal etika kepantasan yang disebut Prof Jimly bukan hal fundamental. Norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang tergantung selera untuk mengatakan pantas atau tidak pantas," pungkas Yusril.

Saya pribadi sependapat dengan Yusril bahwa etika moral memang yang melandasi hukum yang sangat berbeda dengan sopan santun atau etiket. Hal demikian pernah disinggung oleh Prof Oemar Senoaji yang menyatakan bahwa "NO LAW WITHOUT MORAL, NO MORAL WITHOUT RELIGION".

Etika menjadi dasar hukum oleh karena karakternya yang bersifat IMPERATIVE KATEGORIS, perintah yang sebenarnya tidak boleh ditawar.
Meskipun tidak dapat dipaksakan keberlakuannya seperti norma hukum namun pertanggungjawaban moral jauh lebih berat dari pada pertanggungjawaban hukum.

Sedangkan ETIKET, itu hanyalah norma yang sifatnya KONSENSUS KELOMPOK LOKAL yang karakternya IMPERATIVE HIPOTETIS, perintah yang bersyarat situasional dan kondisional, bahkan lokal.

Maka, etiket tidak dapat dipertanggung jawabkan secara general melainkan lokal dan subjektif. Sanksinya pun hanya sekedar mungkin hanya dianggap memalukan, dikucilkan secara adat, lokalitas.

Jadi intinya, petimbangan MORAL ETIKA jauh lebih diutamakan dari pada ETIKET atau Sopan Santun.

Bagaimana seru bukan?
Anda mau dukung siapa sih?
Pak Mahfud dan Pak Jimly, atau setuju dengan pendapat saya dan Yusril Ihya Mahendra?

Apa pun jawaban Anda pasti bermakna dan jangan lupa, tetapkah radikal, ramah terdidik dan berakal.

Tabik...!!!
Semarang, Senin: 4 Oktober 2021

Pengirim:
Prof. Pierre Suteki
Guru Besar Universitas Diponegoro

Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Kolase foto Menko Polhukam Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra. /Kemenko Polhukam/twitter.com/Yusrilihza_Mh//
Seru! Sindiran-sindiran Yusril, Mahfud, dan Jimly Seru! Sindiran-sindiran Yusril, Mahfud, dan Jimly Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar