KontraS: Jokowi Menjadi Aktor Utama Keengganan Pemerintah Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merilis laporan evaluatif terhadap dua tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin terkait aktor yang paling dominan dalam menggunakan instrumen kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.
Menurutnya, aktor yang menggunakan instrumen kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua didominasi oleh institusi Kepolisian dengan 41 kasus, diikuti TNI 17 kasus, dan aparat gabungan TNI atau Polri 10 kasus.
Dari hasil temuan KontraS, motif utama dalam kasus-kasus penyiksaan yang dilakukan aparat di Papua adalah dugaan relasi pertambangan dengan operasi militer yang dilakukan.
Pengerahan aparat dengan skala besar dan bisnis militer yang terus terjadi ini menandakan gagalnya reformasi institusi TNI pasca-dihapuskannya Dwifungsi saat reformasi.
“Bisnis militer semacam ini sudah seharusnya segera dihentikan guna menghentikan penyimpangan fungsi TNI dari fungsi pertahanan; membangun institusi yang lebih profesional; menegakan kontrol sipil atas TNI, khususnya kontrol dalam anggaran pertahanan; serta mengurangi distorsi pada ekonomi nasional,” katanya.
Selain itu, seharusnya militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan keuangan di luar APBN.
Menurutnya, meluasnya ruang militerisme di berbagai sektor tentu akan berimplikasi pada pemeliharaan kekerasan dan menyusutnya ruang kebebasan sipil.
“Jokowi juga menjadi aktor utama keengganan pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” katanya yang dikutip dari KontraS, Selasa, 19 Oktober 2021.
KontraS menyebutkan bahwa Presiden Jokowi justru semakin menambah luka korban pelanggaran HAM berat masa lalu dengan mengangkat sejumlah pejabat yang memiliki rekam jejak buruk.
Dalam dua tahun ini, KontraS tidak melihat adanya komitmen untuk menyelenggarakan mekanisme berkeadilan berupa pengadilan dan pengungkapan kebenaran bagi korban.
“Wacana pemulihan terus diaktifkan guna melunturkan pertanggungjawaban hukum para pelaku,” katanya.
Selain kasus-kasus tersebut, KontraS melihat bahwa sikap buruk Presiden Joko Widodo dalam menangani isu internasional masih perlu diperhatikan.
KontraS menilai hingga saat ini, Indonesia belum mengesahkan Konvensi Internasional bagi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa alias International Convention for Protection of All People from Enforced Disappearances (ICPPED).
Beberapa negara dalam helatan Universal Periodic Review 3rd Session mendukung Indonesia untuk segera meratifikasi ICPPED karena pernah terjadi praktik keji tersebut pada masa Orde Baru dan berpotensi untuk terjadi kembali, sehingga adanya sebuah instrumen hukum untuk mencegah keberulangan peristiwa tersebut menjadi mutlak untuk disediakan.
Ia menyebutkan bahwa Indonesia belum meratifikasi protokol tambahan dari CAT, yaitu OPCAT.
“Secara normatif, OPCAT memiliki banyak manfaat untuk melindungi warga negara dari praktik penyiksaan,” katanya.
OPCAT menetapkan sistem kunjungan rutin ke tempat-tempat penahanan oleh badan-badan ahli independen untuk mencegah penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan sewenang-wenang lainnya.***
Source: Silahkan Klik Link Ini
Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Potret Presiden Joko Widodo (Jokowi)/Net
KontraS: Jokowi Menjadi Aktor Utama Keengganan Pemerintah Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar