Analisis Hukum Perusahaan Cangkang dalam Kasus Pandora Papers
Dunia saat ini sedang dihebohkan oleh fenomena Pandora Papers yang mengungkap kebocoran data mengenai skandal penggelapan harta kekayaan dan penggelapan pajak orang-orang terkaya dan penguasa di dunia.
Boleh dikata Pandora Papers tak ubahnya tsunami data yang mengungkap 11,9 juta rekam data dari 14 perusahaan keuangan offshore yang berbeda.
Adalah konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) sebagai pihak yang memperoleh data tersebut mengungkapkan, bocoran data pada Pandora Papers mengungkap rekam jejak elit dunia yang memanfaatkan wilayah atau negara surga pajak (tax havens) untuk membeli properti dan menyembunyikan aset mereka. Dengan cara itu para elit global tersebut bisa terhindar dari kewajiban membayar pajak di negara asalnya.
Dokumen tersebut menguak aset rahasia, kesepakatan bisnis, dan kekayaan tersembunyi dari para pejabat dan miliarder, termasuk 30 pemimpin dunia. Pandora Papers juga menampilkan data wali kota, narapidana, megabintang sepak bola, pejabat pemerintah hingga pesohor lainnya.
Di Indonesia kasus Pandora papers menjadi ramai karena diantaranya menyebut nyebut dua elit bangsa yaitu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang sering disebut sebut sebagai penguasa sebenarnya.
Nama Luhut pernah disebut juga pada kasus panama papers yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan.
Para pejabat, miliader, artis dan tokoh tokoh dunia yang terkait dengan Pandora papers itu ditengarai mendirikan perusahaan ‘cangkang’ (shell corporation) di negara-negara yang dikenal dengan surga bebas pajak (Tax Haven).
Perusahaan cangkang sesungguhnya adalah perusahaan biasa seperti perusahaan pada umumnya. Tetapi perusaaan model begini tidak mempunyai aktivitas bisnis atau aset signfikan dalam menjalankan kegiatannya . Biasanya perusahaan ini didirikan dalam rangka memulai bisnis rintisan, bahkan tidak jarang perusahaan cangkang tidak memiliki karyawan yang mengelolnya.
Istilah cangkang sendiri merepresentasikan eksistensi secara legal tetapi isinya kosong karena tidak ada aktifitas, bahkan assetnya tida ada. Mirip cangkang yang tidak ada isinya alias hanya sekedar kulitnya saja. Secara legal perusahaan seperti ini eksis adanya tetapi secara aktifitas pasif atau tidak ada.
Secara umum, menurut Organization for Economic Co-Operation and Development(OECD), perusahaan cangkang didefinisikan sebagai sebuah perusahaan yang didirikan secara resmi dan diatur secara hukum dalam yurisdiksi wilayah tertentu tetapi tak melakukan operasional apapun jua.
Ditinjau dari sisi perpajakan, setidaknya terdapat dua pengertian Perusahaan cangkang. Pertama, menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 258/PMK.03/2008, perusahaan cangkang adalah perusahaan yang dibentuk untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan, yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax heaven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
Definisi ini berkaitan dengan kepentingan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 atas penghasilan dari pengalihan atau penjualan saham yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri.
Kedua, PMK 127/PMK.010/2016 mendefinisikan perusahaan cangkang untuk kepentingan pengampunan pajak sebagai perusahaan antara yang didirikan semata-mata untuk menjalankan fungsi khusus tertentu untuk kepentingan pendirinya, seperti untuk pembelian dan/atau pembiayaan investasi, dan tidak melakukan kegiatan usaha aktif.
Kriteria sebuah perusahaan disebut sebagai perusahaan cangkang menurut Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD) atau (Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan) adalah:
- Berbentuk badan hukum yang terdaftar secara resmi pada otoritas nasional dan tunduk pada kewajiban perpajakan dan hukum ekonomi lainnya di tempat kedudukan badan hukum (perusahaan cangkang) itu berada.
- Dikendalikan oleh perusahaan induk yang berkedudukan di luar yurisdiksi badan hukum tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit karyawan, kegiatan usaha, dan kehadiran secara fisik.
- Hampir semua aset perusahaan dalam bentuk investasi di atau dari negara lain.
- Bisnis inti dari perusahaan model cangkang terdiri dari pembiayaan kelompok atau kegiatan holding, menyalurkan dana dari non residen ke non residen lainnya.
Dengan kriteria-kriteria tersebut tak heran jika kemudian perusahaan cangkang itu biasanya didirikan di negara-negara yang menjamin kerahasian data secara ketat dan memiliki tarif pajak yang sangat rendah.
Selain itu, hukum di negara-negara tersebut tak mewajibkan pengungkapan pemilik perusahaan atau benefecial owner atas perusahaan atau aset yang ditempatkan di wilayah tersebut. Contoh negara-negara yang menjadi surga pendirian perusahaan cangkang adalah Cayman Island, Panama, Mauritus, Bermuda, Bahama, British Virgin Island, Marshall Island dan Panama.
Dikutip dari tempo.co, dibuatnya perusahaan cangkang itu dimaksudkan untuk memudahkan transaksi di mancanegara. Tujuan lainnya adalah untuk menghindari pungutan pajak yang tinggi, baik dari transaksi maupun pendirian badan usaha. Selain itu bertujuan untuk menyembunyikan keuntungan yang didapatnya dan bisa dijadikan sebagai sarana untuk untuk mencuci uang hasil kejahatan yang dilakukannya.
Adapun modus kejahatan yang bisa dilakukan melalui perusahaan cangkang antara lain adalah dengan cara :
- Membuat transaksi palsu dengan anak usaha untuk memperkecil laba. Tujuan akhirnya adalah mereduksi tagihan pajak
- Menciptakan lapisan-lapisan pihak yang terafiliasi dalam satu transaksi untuk menyembunyikan dana hasil kejahatan
- Mempermudah transfer dana ke pihak yang bermasalah dengan hukum
- Menyembunyikan transaksi kriminal, seperti trafficking, korupsi, narkotik, dan terorisme
Bagi seorang pejabat negara yang memiliki perusahaan cangkang bisa memanfaatkannya untuk menyembunyikan jati dirinya. Sebagai contoh seorang pejabat bisa menyalurkan dana tanpa menimbulkan kecurigaan dan dikaitkan dengan namanya. Caranya ia bisa membuka perusahaan cangkang, katakanlah, di Panama atau negara bebas pajak lainnya, kemudia ia membuka rekening bank offshore di China.
Ini biasanya bisa satu paket. Alamat korespondensi bisa dialamatkan di China, dan nama perusahaannya bila perlu dibikin ke China-chinaan supaya seperti perusahaan yang berasal dari China. Chiang Mai misalnya, dengan alamat di Shenzen. Dengan nama itu akan mengesankan seperti perusahaan asal China walau sejatinya terdaftarnya di Panama.
Selanjutnya, setelah rekening bank dibuka. Sangat gampang bagi pejabat untuk menerima uang dari siapa saja, termasuk dari uang hasil kejahatannya. Tinggal dibuatkan tagihan abal-abal atas nama perusahaan Chiang Mai, yang pembayarannya juga ditujukan pada perusahaan tersebut.
Ini akan terlihat seperti transaksi bisnis biasa. Atau bisa juga sekedar meminta transfer ke rekening Chiang Mai tsb. Hukum kerahasiaan bank akan menjamin kerahasiaan terkait transaksi tersebut, sedangkan di Indonesia ini akan tampak seperti transfer yang legitimate ke rekening bank sebuah perusahaan di China.
Selanjutnya tinggal mengambil uang tersebut dari rekening perusahaan Chiang Mai. Dananya bisa diambil tunai dengan menggunakan ATM bersama dari Indonesia atau bisa ditarik cash sambil jalan jalan ke mancanegara. Hampir pasti KPK tidak akan dapat melakukan OTT seperti kasus korupsi lainnya.
Yang paling sering, keberadaan perusahaan cangkang itu digunakan untuk upaya menghindari pembayaran pajak yang merupakan kewajiban kepada negara. Dalam penghindaran kewajiban pajak, modusnya dengan cara mengalihkan laba perusahaan afiliasi di luar negeri kepada perusahaan cangkang (di dalam negeri).
Cara tersebut digunakan untuk menutupi laba yang diperoleh perusahaan afiliasi tersebut. Artinya, pendirian perusahaan cangkang dilakukan untuk merekayasa atau memanipulasi laporan keuangan perusahaan afiliasi. Hal ini tentunya akan mengurangi nilai pajak perusahaan afiliasi tersebut setelah mengalihkan labanya pada perusahaan cangkang yang didirikannya.
Modus hampir serupa juga dapat dilakukan pada tindak pidana lain seperti korupsi, money laundering, dan pendanaan terorisme. Terjadi pengalihan dana kepada perusahaan cangkang yang berada di luar yuridiksi Indonesia.
Analisis Hukum
Bila menilik dari aspek legalitasnya, perusahaan cangkang mendapat pengakuan hukum di negara kita. Meskipun secara yuridis formal hingga saat ini belum ada peraturan khusus yang mengatur mengenai perusahaan cangkang di Indonesia.
Di Indonesia, pendirian perusahaan cangkang yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Sedangkan perusahaan cangkang berbadan hukum yang tidak didirikan dan tidak ber kedudukan di Indonesia tapi menjalankan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia atau yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dengan menjalankan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, dapat digolongkan ke dalam kategori korporasi berjenis Bentuk Usaha Tetap (“BUT”) sesuai ketentuan undang-undang pajak penghasilan.
Pasal 2 ayat (5) Undang Undang Nomor 36/2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, mendefinisikan BUT sebagai bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk Usaha Tetap (BUT) dapat berupa :
- Tempat kedudukan manajemen
- Cabang perusahaan
- Kantor perwakilan
- Gedung kantor
- Pabrik
- Bengkel
- Gudang
- Ruang untuk promosi dan penjualan
- Pertambangan dan penggalian sumber alam
- Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
- Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
- Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
- Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
- Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
- Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia
- Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Meskipun keberadaan perusahaan cangkang tidak diatur secara khusus namun pada praktiknya, penggunaan perusaaan cangkang merupakan hal yang lumrah dalam bisnis (HukumOnline.com, 2016), sehingga harus diteliti kasus per kasus untuk menentukan apakah perusahaan cangkang itu digunakan untuk penghindaran pajak atau penggelapan pajak (Okezone, 19 April 2016).
Secara spesifik regulasi di Indonesia terutama dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memang tidak mengatur keberadaan perusahaan cangkang karena dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT lebih banyak mengatur terkait pendirian perusahaan yang didirikan di wilayah Indonesia (onshore company).
Di undang-undang tentang PT tersebut hanya mengatur tentang pembentukan perusahaan onshore atau perusahaan yang ada di Indonesia. Sedangkan perusahaan cangkang ini umumnya adalah perusahaan yang didirikan di luar negeri (offshore)
Meski UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT tidak menjangkau offshore company ini, namun dalam kondisi tertentu perusahaan tersebut terikat dengan aturan hukum di Indonesia.
Jadi kalau offshore masuk ke Indonesia dan terdaftar sebagai perusahaan investasi dalam menjalankan aktivitas bisnisnya di Indonesia maka perusahaan tersebut akan terikat dengan perangkat aturan hukum yang berlaku di Indonesia.
Tapi dasar hukum pendirian perusahaan ini (offshore) bukan di Indonesia. Dengan demikian yang mengikat itu hanyalah aktivitas bisnisnya saja bukan pada subjek hukumnya sendiri karena PT didirikan misalnya di Panama atau negara lainnya.
Oleh karena perusahaan offshore berdiri di wilayah di luar Indonesia, maka tak bisa jika hanya dilihat dari satu perspektif hukum semata. Dalam kaitan ini sekurang kurangnya ada dua aspek hukum yang bisa dipakai ketika melihat offshore company dari kacamata hukum di Indonesia.
Pertama, adalah aspek penanaman modal dimana jika dilihat dari aspek ini berarti kebanyakan perusahaan tersebut bukan berbentuk holding company melainkan anak perusahaan atau sisters company.
Dengan statusnya tersebut maka Offshore yang akan masuk ke Indonesia harus register terlebih dulu di Indonesia. Karena perusahaan yang masuk dari luar itu tercatat di luar negeri tapi sebenarnya pemiliknya orang Indonesia. Hal ini dianggap wajar karena salah satu tujuan membentuk perusahaan cangkang itu biasanya adalah untuk menghapus jejak kepemilikan aslinya.
Upaya menghapus jejak tersebut seringkali memang dilakukan dengan tujuan misalnya untuk menghindari kewajiban pajak yang harus disetor ke negara. Sehingga dengan sendirinya adanya perusaaan cangkang yang didirikan di mancanegara merugikan Indonesia.Bagaimana Indonesia bisa dirugikan?
Ya karena sistem perpajakan di Indonesia menganut konsep universal atau global income sesuai pasal 4 Undang Undang Pajak Penghasilan tanpa mengenal batasan negara. Dimana setiap penghasilan harus dilaporkan dan diperhitungkan pajaknya.
Jadi pelanggaran yang terjadi bukan karena individu atau perusahaan membuka perusahaan di negara bebas pajak. Tetapi karena perusahaan tersebut dan aktivitasnya tidak dilaporkan didalam laporan pajaknya.
Jadi apapun alasannya, bila memang tidak dilaporkan sudah melanggar ketentuan perpajakan dengan menyembunyikan apa yang seharusnya dilaporkan. Terlepas ada tidaknya pajak yang harus dibayarkan pada negara karena sistem perpajakan di Indonesia yang menganut sistem self assessment tetap mengharuskan pelaporan.
Selain itu penggunaan perusahaan cangkang tersebut yang digunakan untuk membuka rekening offshore, bisa dimanfaatkan untuk kamuflase sesuatu yang illegal. Modus inilah sebenarnya yang sering digunakan sehingga cukup berbahaya.
Biasanya pembukaan perusahaan offshore bisa dibarengi dengan pembukaan rekening atas nama perusahaan, di bank-bank tertentu di berbagai negara . Rekening bank ini akan dengan mudah dijadikan saluran untuk mentransfer uang tanpa bisa dikaitkan kepemilik perusahaan secara langsung. Inilah yang bisa disalah gunakan untuk melakukan kejahatan, seperti pembiayaan terror, pencucian uang hasil kriminal seperti korupsi misalnya.
Dalam hal terjadi penyalahgunaan perusahaan cangkang, misalnya dimanfaatkan untuk menyembunyikan dana hasil perbuatan tindak pidana, penghindaran pajak, dan/atau pencucian uang (money laundering), maka para pelaku dapat dijerat hukum sesuai ketentuan yang ada.
Disarikan dari Pertanggungjawaban Pengurus dalam Tindak Pidana Korporasi dijelaskan korporasi yang melakukan tindak pidana dapat dijerat hukum pidana yang pengaturannya tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya
Sebagai contoh, korporasi dapat dipidana jika terbukti melanggar perbuatan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.
Adapun penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi diatur tersendiri dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (“Perma 13/2016”).
Meskipun demikian, dalam praktiknya, hingga saat ini sulit untuk melacak kepemilikan perusahaan cangkang, mengingat tak jarang pemilik perusahaan cangkang mendirikan belasan, puluhan, bahkan lebih perusahaan cangkang yang berlapis-lapis di berbagai yurisdiksi dan melibatkan banyak negara. Selain itu, mayoritas perusahaan cangkang didirikan di negara-negara yang sangat menjaga kerahasiaan identitas pemilik nya.
Sejauh ini komitmen pemerintah Indonesia dalam memburu aset-aset WNI di luar negeri yang disembunyikan dengan modus perusahaan cangkang masih diragukan keseriusannya. Hal ini bersandar pada pengalaman masa lalu ketika terjadi kasus yang sama.
Sebagai contoh ketika meledak kasus panama papers beberapa tahun lalu, saat itu pemerintah berjanji akan mengusut aset WNI di luar negeri namun hingga saat ini belum terlihat hasilnya. Padahal, data yang diungkap Panama Papers tersebut seharusnya menjadi rujukan bagi aparat penegak hukum untuk mengusut aset-aset WNI di mancanegara.
Waktu kasus Panama Papers mencuat, Ditjen Pajak saat itu sempat berjanji akan meneliti semuanya, tapi nyatanya janji itu tak terealisasi sehingga tidak kelihatan hasilnya.
Padahal ada banyak Undang Undang yang dapat digunakan untuk menjerat korporasi ‘nakal’ di Indonesia. Dengan menindak korporasi yang diduga melanggar hukum Indonesia tersebut diharapkan dapat mengusut kepemilikan aset hingga mengungkap pemilik sebenarnya.
Sayangnya, selain masih rendahnya komitmen elite penguasa , pemahaman penegak hukum di Indonesia sendiri mengenai tindak pidana terkait perusahaan cangkang ini juga masih menjadi tanda tanya. Padahal, potensi kerugian negara akibat jenis kejahatan ini sangat besar nilainya.
Jika dinegara lain, pejabat publik yang tersangkut tindak pidana terkait perusahaan cangkang bisa mundur dari jabatannya tapi tidak demikian halnya dengan Indonesia. Disini meskipun sudah di demo dan ”ditelanjangi” media massa, yang bersangkutan tetap saja bertahan dikursinya. Hal ini pada akhirnya memunculkan tanda tanya, akankah penyelesaian kasus Pandora papers ini akan sama kasusnya dengan kasus kasus sebelumnya ?.
Desmond J. Mahesa
Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Source: Silahkan Klik Link Ini
Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Desmond J. Mahesa
Analisis Hukum Perusahaan Cangkang dalam Kasus Pandora Papers
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar