Meski TWK Wewenang KPK, Tetap Harus Batal Demi Hukum
Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus konstitusionalitas tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK sebagai syarat alih status pegawai menjadi ASN. MK menyatakan TWK konstitusional dan tak bertentangan dengan aturan perundang-undangan.
Hal tersebut termuat dalam putusan Nomor 34/PUU-XIX/2021. Putusan itu menegaskan bahwa TWK merupakan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Gugatan itu dilayangkan oleh KPK Watch Indonesia.
Namun sebelum itu, ada juga putusan MK terkait dengan UU KPK yakni nomor 70/PUU-XVII/2019. Gugatan ini dilayangkan oleh para akademisi Universitas Islam Indonesia uang dipimpin pemohon prinsipal Rektor Fathul Wahid.
THEMIS Indonesia Law Firm & Dewi Keadilan Social Justice Mission yang terdiri dari sejumlah ahli mulai dari Feri Amsari, Bivitri Susanti, Usman Hamid, Titi Anggraini, Nanang Farid Syam, Fadil Ramdhanil, hingga Ibnu Syamsu, menganalisa dua putusan MK tersebut.
Sebab, para ahli tersebut menilai kedua putusan tersebut tidak bertentangan dan dapat menjelaskan perihal polemik mengenai TWK. "Dua putusan itu tidak bertentangan satu sama lain sebab memutuskan tentang dua hal yang hampir sama tetapi memiliki perbedaan objek putusan," kata Feri Amsari dalam keterangannya, Selasa (7/9).
Dalam gugatan nomor 70/PUU-XVII/2019, ada 8 pasal yang diuji konstitusinalitasnya. Namun Feri dkk akan fokus terhadap dua objek pengujian materiil dalam putusan MK tersebut yang berkaitan dengan alih status pegawai menjadi ASN, yaitu terhadap Pasal 24 UU KPK dan Pasal 45A ayat (3) huruf a. "Dua pasal tersebut berkaitan dengan tes wawasan kebangsaan yang ditentukan berdasarkan UU KPK terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN," kata Feri.
Feri menjelaskan, berdasarkan pasal itu, MK berpendapat bahwa proses alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun.
Berikut pendapat MK:
"Oleh karenanya, Mahkamah perlu menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan tersebut".
Feri menilai, pada dasarnya putusan MK tersebut menyatakan dua hal. Yakni TWK konstitusional berdasarkan ketentuan UU KPK yang baru dan proses alih status tidak boleh merugikan pegawai KPK untuk diangkat jadi ASN dengan alasan apa pun.
Berikutnya, Feri dkk menganalisis putusan MK Nomor 34/PUU-XIX/2021. Pokok permohonan yang diuji oleh KPK Watch Indonesia ini terkait ketentuan Pasal 69B ayat (1) dan Pasal 69C UU KPK.
"Meskipun objek permohonan berbeda dengan objek pada permohonan Putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019, tetapi tentu saja terdapat kaitan antara kedua putusan karena berkaitan dengan proses alih status pegawai KPK," kata Feri.
Pasal 69B ayat (1) UU KPK berbunyi:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Pasal 69C UU KPK berbunyi:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam permohonannya KPK Watch Indonesia mendalilkan bahwa terdapatnya syarat yang ditentukan undang-undang dalam alih status tersebut memberikan ketidak-pastian hukum. Ketentuan tersebut menurut pemohon sangat terang menyatakan bahwa tidak terdapat syarat alih status pegawai KPK yang berupa TWK. Itu sebabnya TWK dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
KPK Watch Indonesia juga menyatakan timbulnya TWK berdasarkan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 menimbulkan pertentangan dengan UU yakni Pasal 69B ayat (1) dan 69C UU KPK.
Adapun putusan MK atas permohonan tersebut sebagai berikut:
Mahkamah menyatakan bahwa kewenangan melaksanakan TWK adalah konstitusional. Mahkamah mengutip Putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang bahwa secara substansial desain pengalihan pegawai KPK menjadi ASN telah ditentukan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan in case UU 5/2014 dan peraturan pelaksanaanya dan salah satu ukuran umum yang telah diterima sebagai ukuran objektif untuk memenuhi syarat pengisian jabatan tersebut adalah wawasan kebangsaan yang juga menjadi syarat saat seleksi ASN dan saat pengembangan karier PNS sebagaimana diatur dalam UU 5/2014 dan peraturan pelaksanaanya.
Mahkamah bahkan mengutip pula dalam pertimbangan Putusan Nomor 70/PUU-XVII/2019 mengenai makna “tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun diluar desain yang telah ditentukan tersebut lebih detail lagi”.
Feri Amsari dkk memaknai putusan MK itu menjadi empat poin. Intinya menyatakan bahwa makna tidak boleh merugikan yang disampaikan MK itu bisa dalam konteks individu pegawai KPK; konteks lembaga; konteks ASN; dan konteks negara. "Terang benderang dalam putusan Mahkamah Nomor 34/PUU-XIX/2021 tidak memiliki pertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 70/PUU-XVII/2019. Mahkamah mengakui konstitusional TWK. Tapi Mahkamah tidak pula memutus mengenai prosedur yang seperti apa yang konstitusional," kata Feri.
Adapun simpulan atas putusan MK tersebut, menurut Feri dkk, sebagai berikut:
Mahkamah menganggap sah norma yang mengatur TWK
Mahkamah tidak memutus apa pun terkait prosedur yang cacat dalam pelaksanaan TWK oleh KPK, Badan Kepegawaian Negara atau pihak-pihak lain terlibat menyimpangkan kewenangan dalam pelaksanaan TWK. Sehingga putusan MK sama sekali tidak mengenyampingkan temuan Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Feri dkk menilai, kewenangan konstitusional tidak dapat menjadi pembenaran atas cacat prosedural dan melanggar HAM dalam pelaksanaan TWK.
Meski Putusan MK berlaku final dan mengikat dan menyatakan KPK berwenang untuk melakukan TWK, lembaga antirasuah dinilai tidak bisa berlindung di balik putusan MK apabila ada cacat prosedur yang terjadi dalam praktik TWK. "Sebab lembaga-lembaga yang memiliki otoritas telah memiliki penilaian bahwa dalam praktik penyelenggaraan TWK dalam rangka alih status pegawai KPK secara sah dan meyakinkan telah menemukan fakta adanya penyalahgunaan wewenang, cacat administrasi dan terbukti adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia," kata Feri.
Selain itu, meski TWK konstitusional tetapi dinilai proses pelaksanaanya tidak menjunjung nilai-nilai konstitusi terkait perlindungan HAM dan ketentuan undang-undang lainnya, termasuk UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Feri menjelaskan, ketentuan UU Administrasi Pemerintahan melarang penyelenggara negara, dalam konteks ini KPK, melakukan tindakan dan kebijakan yang (a) bukan kewenangannya; (b) mencampur-adukan kewenangan; dan (c) sewenang-wenang. "Maka, TWK memang adalah kewenangan KPK tetapi penyelenggaraannya tidak dapat sewenang-wenang melecehkan hak asasi manusia," kata Feri.
Terlebih, dalam proses pelaksanaan TWK alih status pegawai KPK telah ditemukan penyalahgunaan wewenang dan cacat administrasi sebagaimana tertuang dalam dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI.
Sehingga meskipun TWK adalah kewenangan KPK tetapi telah dilakukan dengan prosedur yang tidak sepatutnya dilanggar berdasarkan UU Administrasi Pemerintahan dan UU Ombudsman Republik Indonesia.
Bahkan, lanjut Feri, dalam temuan Komnas HAM juga telah ditemukan fakta-fakta dalam prosedur pelaksanaan TWK terjadi 11 pelanggaran hak asasi manusia yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran konstitusi. "Meskipun TWK adalah kewenangan KPK namun dalam penyelenggaraannya tidak diperbolehkan melanggar hak asasi manusia," ucap Feri.
"Meskipun TWK adalah kewenangan KPK namun dalam hukum administrasi negara jika kewenangan tersebut dilakukan dengan prosedur yang salah maka hasilnya harus dianggap batal demi hukum," pungkasnya.
Memperhatikan kealpaan prosedur pelaksanaan KPK yang cacat secara administrasi dan melanggar hak asasi manusia meskipun kewenangan itu konstitusional, maka THEMIS Indonesia mengimbau:
1. Pimpinan KPK mengakui kealpaan dalam proses penyelenggaraan TWK yang tidak sesuai dengan nilai-nilai UUD 1945, UU Administrasi Pemerintahan, UU Hak Asasi Manusia dan nilai-nilai tentang kejujuran, transparansi dan menjunjung kemanusiaan;
2. Meminta Pimpinan KPK mematuhi temuan cacat prosedural dari Ombudsman RI dan pelanggaran HAM terkait TWK dengan membatalkan hasil tes tersebut;
3. Melaksanakan TWK ulang yang transparan dan/atau melakukan proses alih-status sebagaimana pernah diberlakukan terhadap anggota TNI dan kepolisian tanpa perlu melakukan TWK dengan meminta Presiden Joko Widodo menyelesaikan berdasarkan ketentuan PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen PNS yang membuat Presiden berwenang melantik langsung pegawai KPK menjadi PNS;
4. Mengimbau Pimpinan KPK mematuhi UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Source: Silahkan Klik Link Ini
Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Gedung KPK/Net
Meski TWK Wewenang KPK, Tetap Harus Batal Demi Hukum
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:

Tidak ada komentar