Breaking News

Maling Uang Rakyat (Korupsi) Dimanja di Indonesia, Efek Negara Lunak


Kasus korupsi tidak pernah henti difragmentasikan para politisi di negeri ini, seperti yang dilakukan salah satu politisi partai besar dan notabene adalah anggota legislatif terhormat.

Banyak kasus-kasus korupsi baik masalah bantuan sosial dan anggaran lainnya. Misalnya, kasus yang menimpa Bupati Subang, Gubernur Sumatra Utara, Bupati Cirebon, Bupati Indramayu, dan lainnya. Sejak 2004 hingga 2019, terdapat 124 kepala daerah terjerat korupsi.

Hal itu menegasikan korupsi sejatinya bukan masalah kesejahteraan yang diterima—terutama oleh para birokrat—tetapi lebih pada persoalan mental karena korupsi tidak muncul oleh sebab tunggal.

Hal yang lebih esensial tentu karena sistem yang berlaku di negeri ini. Misalnya sistem hukum, politik, administrasi kepegawaian, sosial, pengawasan dan lainnya.

Perjalanan panjang kasus korupsi

Azyumardi Azra secara tegas mengatakan bahwa agama apa pun—khususnya Islam—mengutuk keras tindakan korupsi dalam bentuk apapun. Kata-kata Nabi ‘la’natullahi ‘ala al-raasyi wa al-murtasyi’ (laknat Allah terhadap orang yang memberi suap dan yang menerima suap) adalah meniscayakan ketegasan itu.

‘Al-raasyi’ berasal dari kata dasar ‘risywah’ yang dalam kamus bahasa Arab modern tidak hanya bermakna ‘penyuapan’ (bribery) tetapi juga korupsi dan ketidakjujuran (dishonesty).

Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.

Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar.

Bahkan secara hukum Islam, bisa dimasukkan dalam jenis khiyanah (berhianat).

Risywah terus terjadi tanpa mengenal henti. Ia mengakar, menjamur, bahkan selalu menabur benih baru korupsi dan semakin memberi impresi tentang parahnya fenomena risywah di negara kita, seakan mementahkan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi, suap, sogok dan sebangsanya.

Dalam perjalanan kebangsaan, seringkali tindakan korupsi berangkat dari perasaan “tidak enak” telah dibantu, diurus, dan seterusnya.

Padahal yang dilakukan, misalnya, memang sudah tugas dan kewajibannya. Hal itu yang kemudian menumbuhsuburkan budaya korupsi. Apalagi seperti disebutkan di atas, sistem yang berlaku di negeri ini sangat mendukung hal tersebut.

Pada masa Orde Lama, korupsi terjadi ketika kebijakan nasionalisasi perusahaan dan politik benteng melahirkan kongkalingkong yang sarat KKN. Hal itu diperparah sistem politik yang tidak demokratis.

Korupsi pada masa Orde Baru terjadi ditandai dengan monopoli negara atas urusan ekonomi yang strategis sepanjang 1966-1980.

Periode 1980-1998 ditandai dengan privatisasi ekonomi. Korupsi yang terjadi pada periode 1966-1980 diwarnai dengan adanya kolusi antara pejabat dengan para cukong dari etnis Tionghoa.

Sementara pada periode 1980-1998, dipicu nepotisme antara Soeharto, anak-anaknya, serta keluarganya.

Pada masa BJ Habibie, yang merupakan masa transisi, kita masih terjebak dalam lingkaran demokrasi yang tidak kunjung usai dengan kritik terhadap orde sebelumnya yang korup.

Faktanya, di era reformasi korupsi semakin menggila, tahun 2002, Transparensy International (TI) yang berbasis di Berlin-Jerman meletakkan Indonesia sebagai negara terkorup no. 4 di dunia.

Setahun kemudian ‘naik’ di urutan ke-6. Artinya, dari 133 negara yang diteliti pada tahun 2003, Indonesia masih bertengger di papan atas sebagai negara paling korup di muka bumi ini.

Demikian pula pada masa pemerintahan Gus Dur, Megawati, dan SBY. Sepertinya kasus korupsi semakin menggurita dan perlu kerja ekstra, tidak hanya dilakukan lembaga penegak hukum tetapi juga masyarakat sebagai pemegang sosial kontrol.

Negara lunak

Nurchalish Madjid mengatakan bahwa umat Islam telah memiliki Pancasila. Pancasila adalah sesuatu yang benar, baik isinya serta kedudukannya sebagai kalimah sawa’ bagi kehidupan berbangsa bersama pemeluk agama lain.

Kesepakatan tentang dipercayainya Tuhan Yang Maha Esa, sila pertama, sebenarnya telah cukup baik. Apalagi ternyata masih ditambah kesepakatan-kesepakatan yang lain, yaitu keempat sila berikutnya.

Dalam hal ini, kaidah ushul al-fiqh mengatakan ma kana aktsaru fi’lan kana aktsaru fadhlan (semakin banyak amal kebaikan akan semakin banyak pula diperoleh keutamaan).

Di atas kalimah sawa’ inilah umat Islam bersama pemeluk agama lain di Indonesia bekerja untuk masyarakat.

Akan tetapi, karena agama adalah panggilan hidup yang paling dalam dan utama, Pancasila harus diisi kekayaan-kekayaan dari agama.

Hal ini berarti seorang muslim harus sebagai seorang Islam ketika berdemokrasi dan ber-Indonesia, agar komitmennya kepada panggilan terdalam itu menjadi total, sesuatu yang amat berguna untuk memperkuat etika bangsa.

Ketika bicara persoalan etik ini dengan mengutip pandangan Gunnar Myrdall, Nurchalis Madjid mengejutkan kita semua.

Menurut dia, Indonesia masuk kategori negara yang soft-state (negara lunak). Artinya, sering terjadi ketidakjelasan antara yang benar dengan yang salah di masyarakat.

Korupsi serta penyalahgunaan wewenang dan jabatan menjadi kejahatan yang sudah biasa.

Sementara di negara-negara yang tergolong tough-state (negara keras), seperti Amerika Serikat, pelanggaran moral yang dilakukan pejabat bisa merontokkan kariernya, seperti pernah terjadi pada kandidat calon presiden Gary Hart.

Semua negara maju tergolong negara berwawasan etika kuat. Jepang terkenal dengan tradisi harakiri yang sebenarnya bentuk ekstrem dari budaya malu. Malu dalam Islam ditempatkan sebagai tanda simpul keimanan seseorang (al-hayaa-u min al-iman).

Soft-state dibentuk oleh adanya soft-ethics. Sementara soft-ethics dibentuk oleh jenis pemahaman keagaamaan yang parsial. Misalnya, yang hanya mementingkan ritus-ritus belaka.

Oleh karena itu, mesti dilakukan perluasan dan penyegaran pemahaman-pemahaman keagamaan yang dominan kepada masyarakat.

Misalnya, ketika kesalehan seseorang hanya diukur dari frekuensi pergi ke masjid (ritual), bukan bagaimana tindak tanduknya sehari-hari selaku orang Islam.

Dalam bahasa Harun Nasution yang dikutip Jaih Mubarok, usaha perbaikan pemahaman dan penghayatan agama—terutama dari sisi etika dan moral—kurang mendapat tempat yang memadai.

Dengan bahasa yang agak berbeda, Harun Nasution menyebut Islam Indonesia cenderung menampilkan wajah keberagamaan yang legalistik-formalistik.

Agama ‘harus’ dimanifestasikan dalam bentuk ritual-formal sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan ‘bentuk’ daripada ‘isi’.

Kondisi seperti itu menyebabkan agama kurang dipahami sebagai seperangkat paradigma moral dan etika yang bertujuan membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan.

Masdar F. Mas’udi menyebut agama sebagai sistem nilai dan moral yang relevan bagi kehidupan manusia yang bermartabat dan berkal budi.

Di samping itu, formalisme keagamaan cenderung individualistik dengan menafi’kan kesalehan sosial yang berakibat pada munculnya sikap kontra produktif seperti nepotisme, kolusi dan korupsi.

Kita baru tersadar ketika Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hongkong, bahkan Masyarakat Tranfarancy Internasional menempatkan Indonesia menjadi negara yang terkorup di Asia, dan kinerja birokrasi yang terburuk, padahal mayoritas penduduknya beragama Islam di Indonesia dan para pejabatnya rajin merayakan hari-hari besar agama.

Menjaga amanah

Diperlukan pemaham yang konprehensif tentang agama yang tidak hanya terjebak pada persoalan ritual-individualistik tetapi agama sebagai sebuah sistem nilai dan etik.

Beragama tidak hanya melaksanakan salat, puasa dan zakat tetapi menjaga amanah juga bagian dari ibadah. Seharusnya setiap ibadah spiritual berbekas pada ibadah sosialnya; mampu merubah perilaku lebih bagus dan mental lebih baik.

“Sesungguhnya salat itu mampu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (al-Ankabût/29:45).

Benar apa yang dikatakan al-Hasan al-Bashri rahimahullah bahwa barang siapa yang salatnya tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, salatnya tidak bisa disebut salat bahkan akan menjadi bumerang bagi pelakunya.

Memelihara dan menjalankan amanah pada koridor yang benar suatu keharusan dan merupakan kata kuncinya (agama adalah amanah). Sebab, amanah merupakan inti dari tugas mulia yang Allâh berikan kepada hamba-Nya di dunia.

Menghamba secara tulus kepada Allah berarti menjalankan amanah. Ulama dan ahli agama menjalankan amanah dengan menyebarkan risalah agama, presiden menjalankan amanah melalui jabatannya, semua wakil rakyat, pejabat publik dan kita sebagai rakyat, wajib menjalankan amanah dengan menjadi warga negara yang baik.

Dengan kata lain, semua harus menjalankan ketaatan, patuh, dan tunduk sesuai dengan posisi masing-masing. Bila sikap amanah menjadi penghias dalam bekerja dan muamalah, kesuksesan dan kepercayaan akan teraih. Tak heran jika Islam sangat mengutamakan amanah dalam bekerja dan muamalah meskipun kepada orang kafir.

Karena sampai saat ini, negara masih mencari formula hukum yang bisa memberikan efek jera kepada para koruptor sekaligus menciptakan sistem yang bisa meminimalisir tindak korupsi. Hukuman mati masih diberlakukan dan belum akan dihapus di negara kita.

Berbeda dengan Vietnam dan China, hukuman mati di Indonesia tidak menyentuh pelaku korupsi. Memelihara sikap amanah merupakan jawaban, di tengah godaan pola hidup yang hedonis dan makin permisif dan sistem hukum yang belum sungguh-sungguh untuk ‘paling tidak’ mengeliminir tindak korupsi.***

Disclaimer: Kolom merupakan bentuk komitmen Pikiran Rakyat memuat opini atas berbagai hal. Artikel ini bukan produk jurnalistik tetapi murni merupakan opini kolumnis.

Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara. /Antara/Hafidz Mubarak A
Maling Uang Rakyat (Korupsi) Dimanja di Indonesia, Efek Negara Lunak Maling Uang Rakyat (Korupsi) Dimanja di Indonesia, Efek Negara Lunak Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar