Breaking News

MA Batalkan SKB 3 Menteri Tentang Seragam dan Atribut Sekolah, Tuai Kontroversi


Putusan Mahkamah Agung Nomor 17 P/HUM/2021 yang membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah‎ menuai sorotan.

Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menyatakan, putusan itu belum sejalan dengan jaminan hak-hak anak dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.

Untuk diketahui,‎ pada 3 Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama mengeluarkan SKB 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah.

Hal tersebut merupakan respons atas maraknya pemaksaan terhadap siswi nonmuslim untuk mengenakan jilbab, atribut keagamaan bagi perempuan Muslim sebagai bagian dari seragam sekolah di Sumatra Barat.

Apabila menolak, para siswi kerap mendapat tekanan psikologis seperti perundungan atau intimidasi bahkan hingga dikeluarkan dari sekolah jika memprotes aturan tersebut.

Muatan SKB tersebut mengizinkan setiap siswi atau guru perempuan untuk memilih apa yang akan dikenakan di sekolah, dengan atau tanpa atribut keagamaan.

Keputusan tersebut memerintahkan pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk meninggalkan peraturan yang mewajibkan jilbab, akan tetapi tidak melarang siswi dan guru perempuan Muslim apabila memilih untuk mengenakan jilbab.

Namun, Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Putusan Nomor 17 P/HUM/2021 telah membatalkan SKB 3 Menteri tersebut pada 3 Mei 2021.

Hal itu merupakan respons Mahkamah Agung atas permohonan uji materi terhadap SKB 3 Menteri yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) yang menganggap, SKB tersebut menghalangi upaya pemerintah daerah Sumatra Barat untuk menjaga nilai-nilai luhur adat Minangkabau yang sejalan dengan ajaran Islam.

IJRS menilai, intoleransi agama di Indonesia adalah situasi yang kerap divalidasi oleh sistem dan peraturan yang diskriminatif.

Manifestasi dari hal tersebut dapat ditemukan dalam pemaksaan jilbab terhadap siswi dan guru perempuan nonmuslim di Sumatera Barat.

"Dengan adanya penemuan ini, patut disayangkan bahwa institusi pendidikan belum mengadopsi prinsip-prinsip penghargaan terhadap keberagaman di masyarakat sehingga menciptakan lingkungan belajar mengajar yang merugikan hak-hak anak perempuan dan guru perempuan nonmuslim untuk mempertahankan identitas keyakinan yang dianutnya," kata Aicha Grade Rebecca, peneliti IJRS dalam keterangan tertulis, Senin 5 Juli 2021.

Riset Human Rights Watch (HRW) menunjukan, aturan diskriminatif berbusana sudah ada sejak 2001 di Indonesia.

Riset tersebut menyebutkan bahwa ada 60 peraturan yang bersifat diskriminatif yang mewajibkan murid berpakaian muslimah.

Pada beberapa kasus, pemaksaan busana ini tidak terbatas dalam status murid, namun meliputi guru perempuan nonmuslim.

Pemaksaan tersebut kerap diatur menggunakan diskriminasi dan sanksi di mana hal ini kerap menimbulkan stress dan efek buruk terhadap lingkungan belajar mengajar.

IJRS pun menyayangkan Putusan MA Nomor 17 P/HUM/2021 itu karena belum sejalan dengan jaminan hak-hak anak dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional.

Dalam Pasal 4 dari UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak umpamanya, memuat setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Demikian pula pada Pasal 4 UU No. 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal itu juga dijadikan dasar argumentasi baik oleh pemohon maupun oleh Mahkamah Agung dalam mencabut SKB tersebut.

IJRS menyataan, prinsip dalam pasal tersebut mesti diartikan penghormatan terhadap nilai keagamaan dan kultural harus dilakukan dengan tidak menimbulkan diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Lalu, Pasal 14 dari Konvensi Hak Anak (Conventions on the Rights of Child) yang memuat setiap anak memiliki hak mengekspresikan berpendapat dan hak beragama, termasuk pilihan anak untuk memanifestasikan agamanya.

Kewajiban pengadilan untuk memberikan pertimbangan yang memperhatikan dokumen di atas telah diatur dalam Pasal 11 Butir C, PERMA No. 3 Tahun 2017.

"IJRS menyayangkan putusan atas permohonan uji materil dari Mahkamah Agung yang membatalkan SKB 3 Menteri tersebut. Selain menjustifikasi intoleransi agama dalam lingkungan pendidikan dan merugikan siswi dan guru perempuan nonmuslim yang terdampak, pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Agung juga belum tepat mengakomodasi beberapa prinsip perlindungan anak," ucap ‎Marsha Maharani, peneliti IJRS lainnya.

Pada Agustus 2017, MA telah mengesahkan PERMA No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

PERMA tersebut seharusnya dapat digunakan untuk mencegah putusan-putusan yang membenarkan praktik diskriminatif terhadap perempuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf b PERMA yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat dan praktik tradisional lainnya maupun menggunakan penafsiran ahli yang bias gender.

Akan tetapi, Putusan Nomor 17 P/HUM/2021 masih memuat pembenaran tafsiran adat dan kebudayaan yang diskriminatif terhadap identitas perempuan dan anak dengan minoritas ganda (double minority).

Pemerintah juga telah menjamin perlindungan hak-hak anak dalam UU Perlindungan Anak dengan menyatakan bahwa anak di bawah usia 18 tahun berada di bawah penguasaan orangtuanya dan belum dibilang cakap hukum.

Namun, pilihan mengekspresikan agama dan kepercayaan dari anak tidak termasuk sebagai tindakan yang memerlukan kecakapan hukum.

Demikian juga UU tersebut telah menjamin hak anak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya.

Dengan demikian, Putusan 17 P/HUM/2021 justru bertentangan dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada, baik hukum nasional maupun konvensi-konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.

Putusan itu tidak mencerminkan penghargaan atas keragaman adat, agama dan budaya di Indonesia serta memberikan validasi bagi kebijakan-kebijakan diskriminatif di sekolah, khususnya pemaksaan untuk mengenakan jilbab yang merugikan anak perempuan dan guru perempuan nonmuslim.

Imbasnya, negara tidak menunjukkan komitmen tegas untuk mengatasi intoleransi serta tidak responsif atas kerentanan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dialami oleh masyarakat minoritas agama di Indonesia.

‎IJRS Juga menyampaikan sejumlah rekomendasi, yakni MA‎ menggunakan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum serta mendukung pemenuhan prinsip kebhinekaan, kesetaraan gender and interpretasi objektif atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam memutus suatu perkara dengan memperhatikan perlindungan kelompok rentan seperti perempuan dan minoritas agama.

IJRS juga menilai perlu‎ adanya upaya yang lebih nyata dan komprehensif oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia untuk memastikan lingkungan institusi pendidikan sebagai tempat aman bagi anak anak minoritas agama agar identitas mereka tidak dihapuskan oleh kebijakan diskriminatif.

Pemerintah perlu memiliki pula ‎ komitmen dan dukungan tegas melalui kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah yang inklusif untuk menyikapi intoleransi agama yang masih berkembang di masyarakat, untuk menjamin perlindungan bagi kelompok minoritas agama sehingga keamanan, kesejahteraan dan hak hak mereka terlindungi.***

Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Mahkamah Agung. Persoalan seragam dan atribut muslimah untuk siswa sekolah di Sumatra Barat msih menjadi isu hangat yang disorot publik. /Antara
MA Batalkan SKB 3 Menteri Tentang Seragam dan Atribut Sekolah, Tuai Kontroversi MA Batalkan SKB 3 Menteri Tentang Seragam dan Atribut Sekolah, Tuai Kontroversi Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar