Breaking News

Ironi KPK: Mengaku Kekurangan SDM, Tapi Pecat 75 Pegawai


Ironi, kata tersebut mungkin tepat menggambarkan kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.

Dalam berbagai kesempatan, lembaga antirasuah kerap mengaku kekurangan sumber daya manusia.

Namun, komisi antikorupsi justru menonaktifkan 75 pegawai yang tak lulus atau tidak memenuhi syarat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang merupakan syarat alih status pegawai menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kebutuhan SDM KPK kerap diungkapkan dalam sejumlah kesempatan.

Dalam konferensi pers Kinerja KPK Tahun 2020 di Gedung KPK, Jakarta pada Rabu (30/12/2020) misalnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyatakan, lembaga yang dipimpinnya itu masih kekurangan ratusan pegawai untuk seluruh sektor.

Bahkan angkanya menyentuh sekitar 400 orang.

"Tentu sesungguhnya KPK bukan hanya tahun ini, dari tahun sebelumnya KPK sudah melakukan analisis terhadap kebutuhan sdm tidak lebih sudah di atas 400 kebutuhan penambahan sesungguhnya tapi belum dipenuhi," kata Ghufron saat itu.

Ghufron tak membeberkan secara rinci kebutuhan SDM tersebut apakah termasuk tenaga penyelidik dan penyidik.

Yang pasti, Ghufron mengatakan, pihakmya melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan SDM, seperti peningkatan kemampuan SDM yang dimiliki dan bekerja sama dengan lembaga lain.

Hingga kini, persoalan kekurangan SDM tersebut belum sepenuhnya diatasi KPK.

Apalagi, saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung yang membuat KPK tidak dapat memaksimalkan kekuatan SDM yang dimiliki lantaran menerapkan sistem Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah.

Hal ini setidaknya sempat diakui Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (2/10/2020) malam.

"Sekarang saja (pegawai) yang masuk 25 persen," kata Alex, sapaan Alexander Marwata.

Alex mengibaratkan KPK seperti tengah membuat bangunan.

Dengan jumlah SDM yang besar pekerjaan dapat mudah diselesaikan.

"Tentu dengan 10 orang tukang lebih cepat membangun, dibandingkan kalau yang kerjakan itu tiga orang," katanya.

Dengan jumlah pegawai yang terbatas,  berpengaruh pada kemampuan KPK mengolah informasi yang didapat melalui hasil penyadapan. 

Kondisi serupa juga terjadi pada upaya penyelidikan dan penyidikan.

"Itu berpengaruh besar terhadap kekuatan KPK dalam rangka mengungkap tindak pidana korupsi," tutur Alex.

Ucapan Ghufron dan Alex memang telah berlalu lebih dari empat bulan lalu.

Namun, pernyataan kedua pimpinan lembaga antirasuah itu masih relevan.

Hal ini mengingat, pandemi masih berlangsung dan tidak banyak tenaga baru yang masuk ke KPK.

Setelah pernyataan keduanya, berdasar catatan, di bidang penindakan, KPK baru menambah 11 Jaksa dan satu kepala bagian pada Februari 2021, enam penyidik dan dua penyelidik dari unsur Polri pada 9 April 2020.

Di tengah kondisi demikian, KPK justru menonaktifkan 75 pegawai yang tak lulus TWK melalui Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK.

Padahal, dari 75 pegawai yang tak lulus TWK terdapat sejumlah penyelidik dan penyidik yang sedang menangani perkara korupsi.

Salah satunya, penyelidik Harun Al Rasyid yang memimpin tim Satgas KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidhayat, pada Minggu (9/5/2021).

Selain itu, terdapat juga nama penyidik senior Novel Baswedan, Ambarita Damanik dan Ketua WP KPK, Yudi Purnomo serta sejumlah penyelidik dan penyidik lainnya yang kerap menangani sejumlah perkara korupsi besar, seperti e-KTP, kasus suap bansos, benur dan lainnya.

Yudi Purnomo misalnya, menangani kasus suap izin ekspor benur yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan kasus suap penanganan perkara korupsi di Tanjungbalai yang menjerat penyidik KPK dari unsur Polri, Stepanus Robin Pattuju.

Sementara, Novel dan Ambarita kerap berada dalam satu tim Satgas dan menangani sejumlah perkara besar, seperti korupsi e-KTP.

Saat ini, keduanya sedang menangani kasus suap jual beli jabatan di Tanjungbalai.

Berikut isi SK tertanggal 7 Mei 2021 yang ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri, dan untuk salinan yang sahnya ditandatangani oleh Plh Kabiro SDM Yonathan Demme Tangdilintin:

Pertama, menetapkan nama-nama pegawai yang tersebut dalam lampiran surat keputusan ini tidak memenuhi syarat (TMS) dalam rangka pengalihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara.

Kedua, memerintahkan pegawai sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut.

Ketiga, menetapkan lampiran dalam keputusan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

Keempat, keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

SK itu telah diterima para pegawai yang tak lulus TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan dan Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo.

Novel mengatakan SK tersebut seharusnya tentang hasil asesmen TWK, bukan penonaktifan jabatan.

Namun, kata Novel, isinya justru meminta agar pegawai yang tak lulus TWK menyerahkan tugas dan tanggung jawab.

Menurutnya, SK tersebut bentuk kesewenangan Ketua KPK Firli Bahuri.

"Itu SK tentang hasil asemen TWK, bukan pemberhentian. Tapi isinya justru meminta agar pegawai dimaksud menyerahkan tugas dan tanggung jawab. Menurut saya itu adalah tindakan Ketua KPK yang sewenang-wenang," kata Novel saat dikonfirmasi, Selasa (11/5/2021).

Novel mengatakan tindak-tanduk ketua KPK yang sewenang-wenang dan berlebihan seperti ini menarik dan perlu jadi perhatian.

Dikatakan, akibat dari tindakan sewenang-wenang berdampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.

Hal ini mengingat sebagian pegawai yang tak lulus TWK dan dinonaktifkan merupakan penyelidik atau penyidik yang tengah menangani perkara.

"Masalah seperti ini merugikan kepentingan kita semua dalam agenda pemberantasan korupsi. Dan semakin menggambarkan adanya ambisi untuk menyingkirkan pegawai-pegawai berintegritas dengan segala cara," kata Novel.

Hal senada dikatakan Yudi.

Ditegaskan, SK penonaktifan tersebut menyalahi aturan perundang-undangan.

Hal ini mengingat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi dan uji formil UU Nomor 19 Tahun 2019 menyatakan alih status menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai. Apalagi, UU Nomor 19/2019 menegaskan hanya peralihan status.

"Bagi kami putusan MK sudah jelas bahwa peralihan status  tidak merugikan pegawai dan amanat revisi UU KPK hanya alih status saja dari pegawai KPK jadi ASN. Dan Ketua KPK harus mematuhi itu," katanya.

Tak hanya merugikan pegawai, SK penonaktifan 75 pegawai KPK yang tak lulus TWK berdampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.

Hal ini mengingat, dari 75 pegawai yang tak lulus TWK dan dinonaktifkan, terdapat penyelidik dan penyidik yang sedang menangani perkara.

"Diminta dalam SK itu agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya kepada atasan langsungnya, ini artinya penyelidik dan penyidik yang TMS (tidak memenuhi syarat) misalnya tidak bisa lagi melakukan kegiatan penyelidikan dan penyidikan dan harus menyerahkan perkaranya kepada atasannya," katanya.

Untuk itu, Yudi mengatakan, saat ini, dirinya bersama para pegawai, terutama yang dinonaktifkan akan berkonsolidasi menyikapi SK tersebut.

"Pegawai KPK tentu akan melakukan konsolidasi untuk langkah yang akan kami ambil berikutnya," kata Yudi.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan, KPK telah menyampaikan Salinan SK tentang Hasil Asesmen TWK kepada atasan masing-masing untuk disampaikan kepada 75 Pegawai yang dinyatakan TMS.

Dalam Surat Keputusan Tentang Asesmen TWK tersebut, ke-75 pegawai yang tidak lolos itu diminta untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan langsung, sampai dengan ada keputusan lebih lanjut.

"Ini sesuai dengan keputusan rapat pada 5 Mei 2021 yang dihadiri oleh Pimpinan, Dewan Pengawas dan Pejabat Struktural," kata Ali dalam keterangannya, Selasa (11/5/2021).

Ali membantah penyerahan tugas para pegawai yang tak lulus TWK sebagai penonaktifan.

Dijelaskan, penyerahan tugas ini dilakukan semata-mata untuk memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di KPK agar tidak terkendala.

Selain itu, penyerahan tugas ini untuk menghindari adanya permasalahan hukum berkenaan dengan penanganan kasus yang tengah berjalan.

"Dapat kami jelaskan bahwa saat ini pegawai tersebut bukan nonaktif karena semua hak dan tanggung jawab kepegawaiannya masih tetap berlaku," katanya.

Ali menjelaskan pelaksanaan tugas ke-75 pegawai tersebut untuk selanjutnya berdasarkan atas arahan atasan langsung yang ditunjuk.

KPK, kata Ali, saat ini sedang berkoordinasi secara intensif dengan Badan Kepegawaian Negara dan Kemenpan RB terkait tindak lanjut terhadap 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam asesmen TWK.

"KPK berharap dukungan media dan masyarakat untuk mengawal agar semua proses alih status pegawai KPK menjadi ASN bisa berjalan sesuai prosedur dan tepat waktu," katanya.

Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Ilustrasi KPK/Tribun Jabar/Gani Kurniawan
Ironi KPK: Mengaku Kekurangan SDM, Tapi Pecat 75 Pegawai Ironi KPK: Mengaku Kekurangan SDM, Tapi Pecat 75 Pegawai Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar