Breaking News

Kaum Milenial Pemuja Kultur Kematian


KEPALA Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Pol Boy Rafli Amar, Senin (29/3) mengatakan, pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, pasangan suami-istri. Mereka dari generasi milenial. Suami, L, lahir pada tahun 1995.

Aksi terorisme milenial itu mengingatkan pada Ivan Ahmadi Hasugian. Ivan yang oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian (waktu itu) disebut sebagai teroris lone-wolf �"orang yang melakukan aksi terorisme atas inisiatif sendiri tanpa ada yang memerintah, mengutip definisi Burton dan Steward�"ketika itu baru berusia 18 tahun.

Dalam aksinya, Ivan menyerang Pastor Albert Pandingan yang sedang memimpin Misa di Gereja Katolik Santo Yosep Medan. Sebelum menyerang dengan menggunakan pisau, Ivan menyalakan benda mirip petasan atau bom.

“Ketika dia berdiri, sumbu bomnya sudah menyala. Kemudian meledak seperti mercon,” kata Timbas Pasrat Ginting yang duduk di belakang Ivan di dalam gereja (https://www.bbc.com/indonesia/2016/08/16).

Istilah milenial pada umumnya mengacu pada generasi yang lahir antara awal 1980-an dan 1990-an (Merriam-Webster Dictionary). Tetapi, ada yang memasukkan mereka yang lahir awal 2000-an.

Sebenarnya, keterlibatan generasi melenial dalam aksi bom bunuh diri sudah tercatat sejak Bom Bali. Pelaku Bom Bali II (2005), Ayip Hidayat (25), Salik Firdaus (23), Wisnu (23). Sebelumnya, pelaku bom Kedubes Australia (2004), Heri Kurniawan (26). Pengebom Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo (2011), Pino Damayanto (31). Pengebom bunuh diri di Polrestabes Medan (2019), Rabbial Muslim Nasution (24).

Dan, terakhir, Zakiah Aini yang melakukan penembakan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3) baru berusia 25 tahun. Menurut Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Zakiah adalah pelaku penyerangan tunggal (lone wolf).

“Yang bersangkutan ini adalah tersangka atau pelaku lone wolf beridiologi ISIS. Terbukti dari postingannya di sosial media,” kata Kapolri (Kompas.com).

II

Mengapa kaum melenial? Ramakrishna dari RSIS (S.Rajaratnam School of International Studies) Singapura memberikan jawaban awal menggunakan analisis psikososial dari empat faktor: Faktor Neurologis (transisi emosional ke masa dewasa), Konteks Keluarga (ikatan orangtua), Konteks Sosial (marginalisasi sosial ekonomi, budaya kebencian) dan Konteks Teknologi (paham internet). Menurutnya, “interaksi faktor-faktor ini membuat pemuda rentan terhadap eksploitasi kelompok teroris” (Zohurul Anis: 2016).

Era baru ini telah membawa pengalaman hidup yang berbeda bagi generasi milenial. Mereka sedang dalam masa transisi menuju kedewasaan dan mencari jati diri mereka. Mereka ingin memenuhi kebutuhan dasarnya seperti rasa memiliki, kasih sayang, dan aktualisasi diri.

Selain itu, banyak laki-laki muda yang mencari panutan laki-laki, terutama yang berasal dari ikatan keluarga yang lemah. Di sisi lain, dinamika masyarakat kita telah berubah. Interaksi langsung kami sekarang menjadi lebih sedikit karena semua orang sibuk dengan gadgetnya.

Kaum milenial juga lebih suka mengekspresikan diri mereka secara online. Banyak dari mereka yang kecanduan game online dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk aktivitas tersebut. Mereka juga menghadapi budaya kebencian di media sosial.

Diyakini bahwa, “penggunaan media sosial yang meningkat telah mengubah cara kita berkomunikasi dan berinteraksi.”

Seiring kemajuan teknologi, kelompok teroris memanfaatkan Internet. Karena  mudah digunakan, murah, dan memiliki dampak yang luar biasa dalam menarik khalayak, terutama kaum muda.

Ini juga memungkinkan siapa saja untuk memublikasikan dan berbagi informasi dengan cepat. Mereka menggunakan situs web untuk merekrut orang, untuk mencari pendanaan, untuk memelihara hubungan, untuk mempromosikan ideologi mereka, dan untuk berbagi tutorial senjata.

Kaum muda yang sedang mencari jati diri seringkali tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi di dunia. Media sosial memungkinkan mereka mencari informasi apa pun yang mereka inginkan. Karena mereka kebanyakan menggunakan Facebook, kaum ekstremis tahu bagaimana mengatur target khusus untuk Facebook (yaitu usia, agama) dan mereka terkenal dengan “Invasi Facebook.”

III

Pertanyaannya adalah mengapa mau menjadi pengebom bunuh diri? Ada berbagai faktor memotivasi pelaku bom bunuh diri. Faktor-faktor ini termasuk fanatisme agama (Robert J Brym dan Bader Araj: 2012).

Tujuan akhir dari terorisme bunuh diri, serupa dengan terorisme pada umumnya, adalah untuk mendapatkan liputan media yang digunakan untuk mempromosikan kepentingan politik dan agama organisasi itu sendiri. Serangan bunuh diri unik karena jika teroris tidak bunuh diri, serangan itu dianggap gagal. Kematian pelaku bom bunuh diri merupakan prasyarat bagi keberhasilan serangan teroris itu.

Para teroris bunuh diri bukanlah individu gila yang membelas dendam karena putus asa, kata Nicholas W Bakken (2007). Walau mereka nekad bunuh diri.  Serangan-serangan mereka direncanakan dengan baik oleh individu-individu yang berpendidikan.

Target telah ditentukan sebelumnya sehingga persiapan dan perincian seputar serangan dapat direncanakan dengan hati-hati. Pengebom bunuh diri dapat mengaktifkan ledakan, yang diikat ke tubuhnya atau ditempatkan di dalam kendaraan, pada saat kerusakan dan korban jiwa maksimum dapat terjadi.

Mengapa mereka mau bunuh diri? Mereka menganut kultur kematian (culture of death). Kultur kematian adalah kultur barbaritas yang memuliakan atau menyembah kematian; mendewakan kematian. Karena dengan kematian itu, mereka mencapai tujuan pragmatisnya, (Daniel M.T. Fessler  and Katinka Quintelier (2013), masuk surga seperti diajarkan oleh para gurunya.

Kultur kematian, menurut Paus Yohanes Paulus II, adalah daya negatif yang merusak dunia. Kultur kematian sekaligus menunjuk kebisuan manusia di tengah persoalan humanitas yang mempertaruhkan kehidupan umat manusia. Itulah terorisme. Itulah tindakan kaum teroris.

Karena itu, Jean Baudrillard, seorang filsuf kontemporer berpendapat bahwa teror adalah permainan kematian. Mereka merancang kematiannya sendiri, menjadikan kematian sebagai kunci permainan. Jadis sistem kematian adalah “spirit of terrorism”, menjadi prinsip dasar dalam terorisme. (Silvester Ule: 2011).

Karena itu, betul yang dikatakan dua guru saya�"Komaruddin Hidayat dan Yudi Latif�"dalam WhatsApp yang dikirimkan kepada saya, mengatakan, solusi terhadap terorisme tidak cukup dengan “kutukan.”

Sebab “Mati saja mereka tidak takut,” kata Komaruddin. “Tetapi, mereka tidak berani hidup. Padahal tidak ada jalan pintas menuju surga. Janji surgawi hanya bisa diraih lewat keberanian hidup, beramal kebajikan, atas rintangan dan tantangan zaman, demi memberi kebahagian hidup warga bumi,” kata Yudi Latif.

Karena itu, terorisme harus dihadapi dengan menumpas akarnya dengan meningkatkan kualitas dan kecerdasan hidup secara berkeadilan. Tentu juga dengan  menumpas “batang utamanya.” 

Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Ilustrasi/Net

Disclaimer : Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan oposisicerdas.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi oposisicerdas.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Kaum Milenial Pemuja Kultur Kematian Kaum Milenial Pemuja Kultur Kematian Reviewed by Oposisi Cerdas on Rating: 5

Tidak ada komentar