Ketua Muhammadiyah: KPK Tamat di Tangan Presiden Jokowi
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqqodas menyebut riwayat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tamat di tangan pemerintahan Presiden RI
Joko Widodo (Jokowi).
Pernyataan itu ia sampaikan menyikapi penonaktifan 75 orang pegawai KPK yang
tak lulus tes wawasan kebangsaan. Diketahui sebagian dari 75 orang itu
dikenal sebagai sosok-sosok yang berintegritas dan berdedikasi pada
pemberantasan korupsi seperti penyidik senior Novel Baswedan dan penerima
tanda kehoramtan Satyalancana Wira Karya, Sujanarko.
Busyro mengatakan KPK telah dilemahkan sejak Jokowi mengirim Surat Presiden
ke DPR RI untuk merevisi UU KPK. Setelah itu, sejumlah peristiwa memperlemah
KPK secara perlahan.
"Sejak UU KPK direvisi, dengan UU 19/2019, di tangan Presiden Jokowi lah KPK
itu tamat riwayatnya. Jadi bukan dilemahkan, sudah tamat riwayatnya," kata
Busyro saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (12/5).
Busyro menyampaikan posisi KPK pun makin lemah saat Firli Bahuri dkk
terpilih menjadi pimpinan. Dan, sambungnya, pelemahan KPK yang semakin parah
itu pun terlihat lewat tes wawasan kebangsaan (TWK) dengan dalih untuk
status kepegawaian menjadi ASN sesuai UU KPK hasil revisi pada 2019 silam.
Mantan pimpinan KPK itu menilai TWK tidak sesuai amanat konstitusi dan
Pancasila. Tes itu, kata Busyro, juga tidak relevan sebagai syarat alih
status pegawai.
"LBH Muhammadiyah dari PP Muhammadiyah sampai wilayah-wilayah sudah resmi
akan menjadi kuasa hukum bersama yang lain untuk kuasa hukum 75 orang itu,"
tuturnya.
"75 orang itu harus dipulihkan kembali. Kalau tidak dilakukan Presiden, maka
di era Presiden ini betul-betul remuk," imbuh dia yang juga pernah memimpin
Komisi Yudisial sebagai ketua (2005-2010).
Diketahui pihak Istana sendiri sejauh ini belum mengeluarkan pernyataan
apapun sejak TWK KPK menjadi polemik setidaknya dalam sepekan terakhir.
Namun, tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin
menegaskan tidak ada intervensi pemerintah dalam penonaktifan 75 pegawai
KPK.
"Umpamanya ada yang memberikan penilaian bahwa ini ada upaya pemerintah dan
intervensi presiden Joko Widodo dalam rangka menyingkirkan 75 orang pegawai
KPK yang menolak UU KPK, ini pasti fitnah yang sangat murah dan menurut saya
ini satu perilaku yang amat sangat biadab," kata Ngabalin, saat dihubungi
CNNIndonesia.com.
"Mereka menuduh bahwa proses TWK suatu proses diada-adakan karena di-UU
tidak ada rujukan pasal dan ayat tentang TWK. Ini orang-orang yang
sebetulnya tidak saja tolol, tapi memang cara berpikir terbalik, otak-otak
sungsang ini namanya."
Kritik atas TWK KPK dari Lapkesdam PBNU
Dihubungi terpisah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) juga mengkritik
keputusan KPK menonaktifkan para pegawai yang tak lulus TWK. Mereka tak
setuju jika KPK menonaktifkan pegawai hanya karena tak lulus TWK.
"Saya berharap penonaktifan ini bersifat sementara saja. Penonaktifan bukan
pemecatan. TWK tidak bisa dijadikan satu-satunya standar untuk memecat
seorang pegawai yang sudah bertahun-tahun mengabdi di KPK," kata Ketua
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lapkesdam) PBNU Rumadi
Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Rabu.
Lapkesam PBNU sendiri telah mengeluarkan surat resmi sebagai sikap atas TWK
KPK yang kontroversial tersebut pada yang diteken Rumadi dan Sekretaris
Lakpesdam PBNU Marzuki Wahid pada 8 Mei 2021.
Jaringan GUSDURian yang bertekad merawat Indonesia seperti amanat almarhum
Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pun mengeluarkan sikap yang
mengkritik TWK KPK serta penonaktifan 75 pegawai yang disebut tak lolos dari
ujian tersebut.
Manifesto itu kemudian disampaikan terbuka pada 11 Mei lalu, diteken
Koordinator Jaringan GUSDURian Alissa Wahid. Alissa sendiri dikenal sebagai
putri sulung dari Gus Dur.
"Meminta Presiden RI Joko Widodo untuk melakukan evaluasi total dan tidak
menggunakan hasil penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan yang cacat moral
tersebut untuk menyeleksi pegawai KPK," demikian poin kedua dari total lima
poin sikap Jaringan GUSDURian tersebut.
GUSDURian mengingatkan bah KPK didirikan dengan proses yang panjang
pascareformasi.
"Dimulai di era BJ Habibie, dibangun pondasi oleh KH Abdurrahman Wahid, dan
diresmikan di era Megawati Soekarnoputri. Sudah seharusnya pemberantasan
korupsi menjadi agenda utama negara, karena korupsi sangat menghancurkan
sendi-sendi kehidupan," demikian tutup sikap Jaringan GUSDURian tersebut.
KPK dibangun dengan proses yang sangat panjang. Kita tentu sedih di pengujung bulan Ramadhan mendapat kabar bahwa banyak orang berintegritas di tubuh KPK yang disingkirkan melalui tes wawasan kebangsaan yang cacat moral dan etika. #SaveKPK pic.twitter.com/K4Ampm8inZ
— Jaringan GUSDURian (@GUSDURians) May 11, 2021
KPK Sebut Bukan Nonaktifkan
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan 75 pegawai bukan dinonaktifkan,
tapi diminta untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan
langsung sampai ada keputusan lebih lanjut.
Ia menegaskan keputusan ini sesuai dengan keputusan rapat pada 5 Mei 2021
yang dihadiri oleh Pimpinan, Dewan Pengawas dan Pejabat Struktural.
Ali mengatakan penyerahan tugas tersebut dilakukan semata-mata untuk
memastikan efektivitas pelaksanaan tugas di lembaga antirasuah tak
terkendala dan menghindari permasalahan hukum terkait penanganan kasus yang
tengah berjalan.
Source:
Silahkan Klik Link Ini
Diterbikan: oposisicerdas.com
Foto: Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqqodas/Net
Ketua Muhammadiyah: KPK Tamat di Tangan Presiden Jokowi
Reviewed by Oposisi Cerdas
on
Rating:
Tidak ada komentar